Pijar seperti bermimpi. Namun, lelaki itu tahu kalau dirinya sedang tidak bermimpi. Pandangannya bertemu dengan sepasang netra yang dulu sering ia tatap. Tubuhnya mendadak kaku. Pijar tak ingat lagi pada ikan-ikan nila yang sedang ia tangkap. Dunianya seolah sedang berhenti untuk memberikan jeda. Wanita yang berada di sebelah Arini adalah sosok yang sudah begitu lama tak dijumpainya.
Praya ...
Batin Pijar menyebut nama yang selama ini bersembunyi di sudut pikirannya, tapi kini ia bisa melihat langsung rupa wanita si pembawa rindu itu. Pijar tak bisa menyangkal isi hatinya ataupun mengelak dari rasa rindu yang sudah sekian lama terpendam pada Praya.
"Om Pijar?" Suara Tara menarik pikiran Pijar kembali. Tara mengikuti arah pandang lelaki berusia tiga puluh delapan tahun itu, dan menemukan kedua orang tuanya di sana.
"Om mau menyapa orang tua kamu dulu," kata Pijar lalu menyerahkan serok ikan yang dipegangnya pada Tara.
Pijar mencuci tangan dan kakinya terlebih dahulu pada keran air yang ada di dekat kolam. Minimal agar mengurangi bau dari air kolam yang cukup amis.
"Apa kabar?" Kata itu yang terucap pertama kali begitu Pijar sudah berhadapan dengan Praya. Senyum yang ia perlihatkan sebisa mungkin menutupi debar jantungnya.
"Baik, Mas," ujar Praya yang kemudian menyambut uluran tangan Pijar.
Pijar dibuat makin tak karuan saat untuk pertama kalinya setelah rentang waktu yang panjang, akhirnya ia bisa melakukan kontak fisik dengan wanita pujaannya. Beberapa saat ia terpaku dan belum melepaskan tangannya. Praya tetaplah cantik, meski ada yang berbeda. Entah itu apa, ia tidak tahu. Namun, sorot mata Praya seperti menyimpan kisah yang tak terkatakan.
"Bagus kalau kabar kamu baik, aku ikut senang mendengarnya." Pijar menarik tangannya, lalu beralih pada lelaki yang duduk di sebelah Praya.
Celana yang dibiarkan tetap tergulung sebatas lutut dan juga kaos oblong yang sudah basah oleh air bercampur keringat, bukanlah tampilan yang bisa disandingkan dengan laki-laki sempurna di hadapannya ini. Pijar bisa melihat kesempurnaan dalam diri Bagas yang telah membuat Praya jatuh hati.
Bagas secara terang-terangan menunjukkan keraguan saat Pijar mengulurkan tangan untuk berjabatan. Pijar maklum kalau Bagas merasa jijik dengan kondisinya yang kotor dan masih berbau amis. Walaupun ia agak jengah dengan sikap Bagas itu, tapi senyumnya tetap ia kembangkan. Menjadi kamuflase ketegangan antara dirinya dengan lelaki itu.
"Mau ikut menangkap ikan?" Pijar bertanya pada Bagas sebenarnya hanya sekadar berbasa-basi saja.
"Tiga orang sudah cukup, jadi saya nggak perlu ikut-ikutan, bukan?" Bagas mengatakannya sambil membetulkan letak jam tangan di pergelangan. Seakan ingin memberitahu kalau jam tangan Patek Phlilipe-nya tidak cocok membaur dengan Pijar. Harga puluhan juta tak sebanding dengan nilai ikan yang ada di kolam.
"Ah iya, lagian kami juga sudah mau selesai." Pijar tersenyum maklum. Ia lalu memberi tanda pada Praya kalau ia akan kembali ke kolam ikan.
Pijar diam-diam mengembuskan napas ketika kakinya melangkah. Perasaannya mengatakan kalau pertemuan kembali dengan Praya, akan menjadi situasi yang cukup berat baginya.
•••
"Ikan sebanyak ini mau diapain, Om? tanya Tara saat membantu memasukkan ikan nila ke kantong plastik transparan yang sudah diisi air. Total ada dua puluh lima kantong yang sudah mereka isi.
"Ya buat dimasak," kata Pijar."Sebanyak ini mau dimasak?" Tara jelas heran, karena membayangkan banyaknya ikan yang akan dimasak dan dikonsumsi keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness is a Butterfly [TAMAT]
Romance☆Ambassador's pick bulan Desember 2021☆ ☆Daftar Pendek Wattys Award 2022☆ Rumah tangga Praya dan Bagas tidak sebaik yang tampil di permukaan. Masing-masing menyimpan kekecewaan serta rasa frustasi pada pernikahan yang sudah mereka berdua jalani sel...