[sembilan--e]

21.7K 2.1K 299
                                    

Salwa tergemap. Badannya gemetar ketakutan. Kakinya pun terasa lunglai. Sesuatu yang baru saja dilihatnya, telah membawa kengerian serta kekecewaan luar biasa. Salwa kemudian diam-diam berbalik keluar dari sebuah rumah yang sepuluh menit lalu dimasukinya. Salwa tidak tahu itu rumah siapa. Rumah itu sudah pasti tidak ada penghuninya, karena telah banyak kerusakan di mana-mana. Namun, lebih mengherankan lagi ketika ayahnya yang memasuki rumah itu.

Rasa penasarannya ternyata berujung pada hal yang menyakitkan. Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat Bagas sedang menyekap Pijar. Salwa sama sekali tidak menyangka ayahnya bisa tega bertindak sejauh itu. Bagas selama ini adalah sosok ayah yang menjadi idolanya. Ayah yang selalu ia banggakan di depan teman-temannya.

Menjadi suatu kebanggaan tersendiri ketika ia memiliki seorang ayah dengan karir, penampilan, dan paras rupawan seperti Bagas. Sehingga ia pun tidak menyukai ibunya yang bak bumi dan langit dengan sang ayah.

Salwa hanya ingin orang tuanya terlihat sempurna dan pantas, tapi Praya seperti ketidaksesuaian yang kadang membuat ia kesal. Sebelumnya ia pernah berharap memiliki ibu yang mengerti akan dunianya, yang bisa mengikuti perkembangan zaman, serta tidak buta dengan gaya berpakaian yang pantas.

Namun, remaja itu menyadari kalau penampilan bukanlah yang utama. Sifat manja dan egoisnya selama ini pasti telah membuat susah ibunya. Salwa hanya ingin Praya kembali sehat seperti sedia kala. Ia juga berjanji untuk menjadi anak yang baik. Ia tidak mau mengecewakan Praya untuk kesekian kalinya.

Sekarang, kenyataan lain pada diri Bagas telah membentur persepsinya lagi. Salwa menangis. Bingung harus melakukan apa dengan situasi ini. Bagas adalah ayahnya, dan ia tak sanggup melihat orang yang disayanginya tersangkut urusan hukum. Apa kata teman-temannya nanti kalau tahu ayahnya dijebloskan ke dalam penjara?

Pun di lain sisi, Salwa merasa keliru kalau menutup mata pada kesalahan ayahnya. Salwa tak tega melihat Pijar yang dianiaya habis-habisan. Menjadikan Bagas serupa monster yang menakutkan, karena bisa melakukannya.

Salwa lalu mengusap air mata yang membasahi pipinya. Pikiran gadis remaja itu kembali bekerja untuk memutuskan pemecahan masalahnya. Ia mengedarkan pandang ke sekelilingnya yang sepi. Takut kalau tiba-tiba keberadaannya terpergok oleh preman-preman sangar yang tadi ia lihat di dalam sana.

Mungkin ia bisa meminta bantuan orang lain. Rumah terdekat yang bisa dijangkaunya ada sekitar lima puluh meter. Salwa segera bergerak dengan niat yang bulat. Ia telah memilih untuk melakukan sesuatu yang benar. Sambil berjalan, dan dengan tangan yang bergetar, ia mencari kontak Tara di ponselnya.

•••

Bagas keluar dari shower stall dalam keadaan basah dan segera meraih handuk yang tergantung, lalu bergerak mengeringkan tubuhnya tanpa tergesa-gesa. Setelah itu ia menyempatkan untuk melihat pantulan dirinya di cermin.

Rahangnya perlu dibersihkan. Sejak Praya masuk rumah sakit, ia tidak sempat bercukur. Bagas lalu mengoleskan krim cukur di sepanjang rahangnya yang tegas. Tangannya kemudian menggerakkan alat cukur dengan perlahan. Berhati-hati supaya kulitnya tidak terluka.

Terluka seperti Pijar.

Seulas senyum terpantul di cermin. Bagas beranggapan kalau yang telah dilakukannya pada Pijar sangatlah tepat. Pijar pantas mendapatkan pembalasan yang setimpal. Ia paling benci dikalahkan, apalagi oleh Pijar yang tidak setara dengannya.

Preman-preman sewaannya yang akan menyelesaikan semua urusan penculikan Pijar. Termasuk membuang Pijar, setelah mereka membuatnya tersiksa. Bagas tak peduli anak angkat mertuanya itu akan dibuang ke mana, yang penting ia dapat tersenyum puas sekarang.

Setelah selesai bersalin pakaian, Bagas menuang anggur favoritnya ke dalam gelas. Merasa kalau kemenangannya ini perlu dirayakan. Bagas tidak khawatir kalau sewaktu-waktu polisi menangkapnya. Semua sudah diatur dengan baik. Ia membayar mahal begundal-begundal itu supaya mau mengorbankan diri sebagai tersangka. Mereka tidak akan menyebut ataupun mengaitkan namanya sebagai dalang penculikan Pijar.

Bagas merasakan hangat dari cairan alkohol yang disesapnya. Pikirannya terasa lebih rileks sekarang. Tidak ada saksi mata. Tidak akan ada yang mengadu, selama jejak Pijar disembunyikan, tak seorang pun dapat menemukannya.

Hal terakhir yang dilihat Bagas sebelum ia meninggalkan tempat penyekapan adalah tubuh Pijar tertelungkup di lantai. Tak bergerak. Kepala Pijar bersimbah darah setelah dihantam kayu. Menancapkan ujung paku berkarat di kepalanya.

Besok ia akan menjenguk Praya di rumah sakit, kemudian menjemput anak-anaknya di rumah Aneta. Walaupun harus dengan paksaan, ia akan tetap membawa yang menjadi miliknya kembali. Setelah itu, baru ia menyelesaikan perselisihannya dengan Raisa. Satu per satu permasalahan yang ada harus ia selesaikan dengan baik. Ia selalu bisa mengembalikan keadaan pada posisi semula. Dunianya yang sempurna.

Minuman di dalam gelas baru saja ia tandaskan, ketika ponselnya berdering. Bagas langsung mengangkatnya karena yang menelepon adalah Salwa.

"Salwa, kamu harus pulang ke rumah!" seru Bagas cepat. Tanpa berbasa-basi lagi.

Belum ada tanggapan dari Salwa. Namun, Bagas malah mendengar isakan di ujung telepon.

"Kamu kenapa, Sal? Kamu kenapa menangis? Cepat jawab Ayah!" rentet Bagas tak sabar.

Ada jeda beberapa saat, sampai kemudian Salwa bersuara.

"Ayah ... maafin aku ...."

Lalu sambungan telepon terputus. Meninggalkan Bagas dalam kebingungan.

Namun, Bagas tak perlu berlama-lama untuk mengetahui alasan keanehan putrinya di telepon. Bel rumah berbunyi, diikuti suara ketukan pintu yang cukup keras.

Bagas terhenyak begitu mengetahui siapa yang mendatangi rumahnya. Wajahnya mendadak pucat pasi.


•••☆•••

Bagaimana nasib Pijar?

Tebak ya, apa cerita ini akan berakhir sad ending? Atau happy ending?

Sebentar lagi TAMAT ❤❤

Jangan lupa VOTE dan beri komentar ya

Terima kasih banyak ❤❤

Follow saya juga di Instagram @a.w_tyaswuri

Happiness is a Butterfly [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang