[lima--c]

12.5K 1.6K 152
                                    

Seketika Praya mengalihkan pandangan dari Pijar. Yang malah membuat lelaki berkulit sawo matang itu semakin yakin kalau memang ada sesuatu yang disembunyikan Praya.

"Aku baik-baik aja, Mas. Hidup aku itu bahagia," tukas Praya. Namun senyum yang dia tampilkan terlihat tidak nyata bagi Pijar.

"Kamu jujur, kan, sama aku?" tanya Pijar lagi.

"Ngapain juga aku harus bohong?" Praya kini lebih berani menatap langsung netra Pijar.

Untuk beberapa saat mereka berdua hanya saling menatap. Pijar sedang berusaha menggali kebenaran dalam diri Praya. Sama seperti yang dulu pernah ia coba lakukan, ketika Praya akhirnya jujur kalau sedang berbadan dua.

Kejujuran Praya pada saat itu menjadi pukulan keras bagi Pijar. Perasaannya pun ikut hancur mendapati wanita yang dicintainya telah melangkah jauh dari batasan yang semestinya.

Di teras ini ia kembali mencari kejujuran dari Praya. Sebuah kebenaran dari wanita yang menurutnya tampak jauh dari binar bahagia. Ia meneliti wajah cantik Praya yang pucat dan kuyu. Sepasang mata itu seperti menyimpan sesuatu yang sengaja disembunyikan.

"Kamu bisa jujur sama aku, Aya." Pijar menyebut Praya dengan panggilan yang dulu sering digunakannya. Menegaskan kalau Pijar masih bisa menjadi tempat bagi Praya bercerita tentang apa pun.

Namun, air muka Praya tiba-tiba berubah. Jelas sekali dia tidak menyukai pertanyaan tersebut.

"Mas Pijar tahu apa tentang hidup aku? Kita aja baru bertemu lagi sekarang. Mas Pijar nggak tahu apa-apa dan nggak bisa langsung cepat menilai hidup aku." Meski diucapkan dengan pelan, tapi tak mampu menutupi kegusaran di dalam nada bicaranya. Dan Pijar bisa menangkap perbedaan itu.

"Aku hanya khawatir kalau kamu sekarang sedang ada masalah," ujar Pijar yang ingin menunjukkan pada wanita itu kalau ia masih peduli. "Maaf kalau itu malah bikin kamu tersinggung."

"Nggak ada yang perlu Mas Pijar khawatirkan dengan hidup aku." Setelah mengatakannya, Praya membuang muka.

Suara kendaraan yang sesekali lewat di depan rumah mengisi kesenyapan yang mengurung mereka berdua. Pijar masih tetap pada keyakinannya kalau memang ada sesuatu yang salah dengan Praya.

"Aku ke dalam dulu, ya, Mas," ujar Praya yang langsung bangkit berdiri.

Namun Praya menghentikan langkahnya sesaat sebelum melewati pintu lalu berkata, "Terima kasih atas bantuannya tadi sama lutut aku." Kemudian Praya berlalu begitu saja tanpa menunggu tanggapan lelaki itu.

Pijar mengempaskan punggungnya pada sandaran kursi. Mungkin memang tidak ada yang bisa dilakukannya lagi pada Praya. Dinding tebal di antara mereka akan sulit untuk ia tembus.

•••

Pijar mengeluarkan sebuah kotak beludu dari dalam paper bag yang bertuliskan nama produsen perhiasan ternama. Di dalam kotak beludu tersebut terdapat sebuah kalung emas putih dengan liontin bermata berlian, yang akan ia berikan pada Arini sebagai hadiah ulang tahun.

Tentu bukan Pijar yang memilih model kalung mewah itu. Ia mendapat bantuan dari seorang wanita yang sudah menjadi pacarnya selama kurang lebih dua tahun.

Pijar lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas, mengusap layar, dan menggiringnya pada banyak chat Whatsapp dari sang kekasih yang belum ia baca. Pesan Surinala lebih mendominasi daripada pesan lain yang muncul dari teman serta koleganya.

Happiness is a Butterfly [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang