[lima--b]

11.9K 1.6K 130
                                    

Sejak usia tiga tahun, Pijar sudah tinggal di panti asuhan. Ia tidak ingat rupa kedua orang tuanya. Pun tak ada kenangan yang tersimpan tentang orang yang seharusnya berkewajiban merawatnya. Ibu panti pernah bercerita kalau ia ditinggalkan begitu saja di depan pintu pagar panti asuhan. Tanpa informasi apa pun mengenai dirinya selain nama Pijar yang terbordir di jaket yang ia pakai.

Rasanya seperti baru kemarin Pijar diterima dengan tangan terbuka untuk tinggal dan menjadi bagian keluarga Pramudya. Pijar ingat saat pertama kali menjejakkan kaki di rumah ini, dua puluh tujuh tahun yang lalu. Pram memperkenalkannya pada Arini yang menyambutnya dengan ramah. Wanita itu begitu baik memperlakukan dirinya.

"Sekarang kami adalah orang tua kamu. Ayah dan ibu kamu."

Saat itu untuk pertama kalinya Pijar bisa memanggil seseorang dengan sebutan yang biasanya hanya ia lakukan dalam mimpi. Ia begitu gembira bisa memiliki orang tua.

Dan juga seorang adik.

"Namaku Praya."

Usia Pijar terpaut tiga tahun dengan perempuan itu, yang begitu antusias dengan kehadirannya. Ia tidak akan lupa pada genggaman tangan Praya saat mengajaknya mengitari area rumah. Menunjukkan kamarnya dan juga hal apa saja yang bisa mereka lakukan di rumah ini, karena Praya begitu gembira bisa memiliki seorang kakak.

Awalnya Pijar merasa rendah diri dan tidak pantas berada di antara mereka, tapi perlahan kepercayaan dirinya terbit seiring dukungan yang keluarga barunya berikan. Tuhan nyatanya sangat baik dengan mengganti sesuatu yang pernah hilang dalam hidup Pijar dengan keluarga baru yang menyayanginya dengan tulus.

Hubungannya denga Praya semakin dekat. Pijar akan selalu ada untuk Praya. Namun, lambat laun perasaan Pijar pada Praya bergeser ke arah lain. Menjadi bentuk baru yang memenuhi ruang di hatinya.

Pijar mulai mengetahui rasanya mencintai seseorang dan orang itu adalah Praya. Bagi Pijar, Praya adalah tempatnya meletakkan cahaya. Ia akan melakukan apa saja untuk melindungi Praya.

Namun, perasaannya tak pernah berbalas. Praya lebih memilih Bagas, yang membuat Pijar akhirnya cukup tahu diri dengan statusnya sebagai anak angkat. Mustahil bisa merebut hati wanita itu, ketika ada lelaki lain yang jauh lebih memikat dibanding dirinya.

Pijar menghela napas panjang. Ia lalu bangkit berdiri dan berjalan memasuki rumah. Ia tak mau lebih jauh memikirkan kenangannya bersama Praya. Wanita itu sudah bahagia menjadi istri Bagas.

•••

Hari sudah menjelang sore dan Pijar tadinya hanya ingin melewati waktunya di teras sebentar saja, tapi ia menemukan Praya tengah duduk sendirian di sana. Ia agak ragu apakah harus kembali lagi ke dalam atau ikut duduk bersama Praya. Namun, karena Praya sudah terlanjur melihatnya, ia pun duduk di salah satu kursi yang bersebelahan dengan wanita itu.

Praya tersenyum, mau tak mau Pijar juga tersenyum. Walaupun Pijar merasa kikuk sekarang.

"Gimana di Belanda? Mas Pijar betah tinggal di sana?" Pertanyaan Praya seakan mencoba memecah kekakuan di antara mereka.

"Ya begitulah," jawab Pijar sambil berpikir kata-kata yang akan ia ucapkan berikutnya. "Kalau dibilang betah memang betah, tapi tetap aja negara sendiri pasti lebih baik."

"Oh ...." Praya menganggukkan kepala paham dan berkata, "Seharusnya nggak perlu aku tanya lagi sama Mas Pijar. Kalau bisa tinggal di sana sampai belasan tahun, nggak mungkin kalau nggak betah."

Hening.

Pikiran Pijar berkecamuk hal-hal yang tak bisa dikatakan. Andai Praya tahu kalau Pijar begitu merindukannya. Laki-laki itu lalu melirik ke arah Praya yang sedang mengelap lensa kacamata dengan ujung kaosnya. Dadanya sekarang masih berdebar, bukankah itu tandanya kalau perasaannya pada Praya masih sama?

Pijar lantas merutuki dirinya sendiri yang hingga detik ini tak mampu mengenyahkan Praya dari hatinya.

"Mas Pijar mau sampai kapan di Indonesia?" tanya Praya.

"Aku nggak bisa memastikan sampai kapan, yang pasti sekarang ini aku belum kepikiran untuk balik ke Belanda lagi."

"Kerjaan di sana gimana?"

Pijar tersenyum. "Seniman amatir seperti aku, kan, nggak terikat jam kerja. Jadi bebas-bebas aja," ujar Pijar yang sebenarnya sedang merendah.

"Mas Pijar masih suka melukis, ya?"

Pertanyaan itu membuat Pijar merasa kalau Praya tidak mengetahui apa-apa tentang dirinya. Padahal gaung nama Pijar Karunanidi telah dikenal di sana sebagai pelukis yang banyak menghasilkan karya terbaiknya. Kepulangan Pijar ke Indonesa pun bukan tanpa sebab. Ia ingin melakukan yang sudah ia mulai di Belanda untuk dilanjutkan di negara kelahirannya ini.

Pijar memilih untuk tidak menjelaskan mengenai dirinya pada Praya. Meski terselip rasa sedih, karena Praya kemungkinan tidak pernah berusaha mengetahui kabarnya.

"Aku nggak akan pernah berhenti melukis. Kamu pasti tahu kalau melukis buat aku sudah seperti makanan pokok. Kalau aku nggak makan, ya, aku akan mati," tukas Pijar setengah bercanda.

Kemudian obrolan mereka berlanjut hanya seputar hal-hal yang umum saja. Secara tak kasat mata, ada dinding pembatas yang tidak bisa mereka lewati. Yang membuat mereka berdua tidak bisa seakrab dulu lagi.

Tiba-tiba Pijar tak sengaja melihat warna keunguan yang cukup lebar pada lutut Praya. Ia yakin kalau itu adalah memar akibat terjatuh. Dan hal itu membuat Pijar tanpa sadar menunjukkan perhatiannya.

"Lutut kamu kenapa?" tanya Pijar. Ada nada khawatir yang tidak bisa ia tutupi.

"Oh, ini ... aku kemarin habis jatuh."

"Pasti sakit."

Praya buru-buru menggeleng. "Nggak, kok, Mas. Nggak apa-apa."

Tapi Pijar sudah lebih dulu masuk ke rumah dan tak lama keluar lagi dengan membawa sebotol minyak gosok untuk pijat.

"Coba sekarang lurusin kaki kamu," pinta Pijar.

"Eh, lutut aku nggak apa-apa, kok, Mas," tolak Praya.

"Yakin?"

Lalu tanpa aba-aba Pijar langsung menekan lutut Praya. Dan benar saja, Praya meringis menahan sakit.

"Masih bisa bilang nggak apa-apa?" sindir Pijar.

Praya akhirnya menurut dan meluruskan kakinya. Pijar secara perlahan mengusap lutut Praya dan memijatnya pelan-pelan. Mereka sama-sama diam. Tak ada yang bersuara saat jemari Pijar bergerak di atas lutut Praya.

"Kamu kenapa bisa sampai terjatuh?" tanya Pijar setelah selasai memijat lutut Praya.

"Hanya sedikit ceroboh aja, Mas." Hanya itu penjelasan yang diberikan Praya. Tak lebih.

Namun Pijar merasa ada yang aneh dalam diri Praya, karena wanita di hadapannya ini sudah berbeda. Mungkin waktu telah mengubah Praya menjadi sosok yang baru. Dan intuisi Pijar mengatakan kalau ada sesuatu yang sedang disembunyikan Praya.

"Kamu nggak apa-apa?" Pijar tidak tahan lagi untuk tidak bertanya langsung.


"Iya nggak apa-apa. Sekarang lutut aku sudah mendingan," ujar Praya.

"Bukan itu maksud aku."

"Terus maksudnya Mas Pijar apa?"

"Aku tanya tentang hidup kamu." Pijar menatap langsung mata Praya. "Kamu selama ini baik-baik aja, kan?

••☆••


Praya akan jujur nggak ya sama Pijar?

Akhirnya bisa juga mencapai 300 Vote makanya double update-nya kemalaman hehehe...

Terima kasih yang sudah VOTE, terima kasih yang sudah mengapresiasi cerita ini❤

Jangan lupa tetap beri VOTE dan komentarnya ya, biar makin cepat update-nya hehehe ❤

Semoga bisa cepat TAMAT bulan ini aamiin ....

Tetap jaga kesehatan yaaa .... ❤❤❤

Happiness is a Butterfly [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang