[enam--a]

12.4K 1.7K 168
                                    

"Besok kamu pulang sama anak-anak pakai taksi aja. Aku mau pergi," kata Bagas pada Praya yang baru saja masuk ke kamar setelah selesai makan malam.

"Kamu mau ke mana, Mas?" tanya Praya. Suaminya itu sudah bersiap keluar kamar dengan kunci mobil di tangan.

"Aku ada urusan," jawab Bagas datar. Nada suaranya terdengar malas untuk menanggapi.

"Urusan apa? Penting?"

"Kamu nggak usah banyak tanya. Urusan aku itu bukan urusan kamu."

"Tapi besok ulang tahun Ibu. Seharusnya kamu nggak pergi, kalau urusan kamu itu nggak terlalu penting." Praya mencoba mengingatkan Bagas. Akan janggal kalau besok tidak ada kehadiran suaminya.

Bagas langsung menatap istrinya dengan sorot yang menunjukkan ketidaksukaan. "Tahu apa kamu dengan urusan aku?" tanya Bagas sinis. "Penting atau nggak penting, ini urusan aku. Kamu nggak perlu tanya lagi."

"Tapi aku istri kamu. Aku perlu tahu juga dengan segala sesuatu yang menjadi urusan kamu," ucap Praya pelan. Ia merasa takjub dengan kalimatnya yang terucap begitu saja.

Bagas kemudian mendekati Praya. Membuat wanita itu menegang dan langsung menunduk. Bagas kemudian mengangkat dagu Praya untuk menatap langsung matanya.

"Kamu lupa? Aku sudah pernah bilang, kalau kamu sudah nggak berarti apa-apa lagi buat aku. Seharusnya kamu sadar dan jangan pernah ikut campur dengan segala urusan aku. Apa kamu masih belum paham juga?"

Praya menatap balik mata Bagas. Seolah sedang mencari sisa kasih sayang yang mungkin masih ada. Akan tetapi ia tidak menemukannya. Sorot mata Bagas tidak memberikan ia ruang untuk berpikir, kalau dirinya masih layak menjadi orang penting dalam hidup lelaki itu.

"Kenapa kamu harus setega ini sama aku, Mas?" tanya Praya lirih.

"Karena aku sudah nggak punya perasaan apa-apa sama kamu." Bagas mengatakannya tanpa ekspresi.

"Tapi aku masih sayang sama kamu ...."

Suara Praya yang mengiba sepertinya tak mampu meluluhkan kekerasan hati Bagas. Lelaki itu tetap pergi, seolah tanpa beban. Membiarkan Praya berkubang dalam kesedihannya sendiri.

•••

Keesokan harinya, acara ulang tahun ibunda Praya diadakan dengan sederhana. Setelah tiup lilin dan memotong kue ulang tahun, Praya kembali ke kamarnya tanpa merasa perlu untuk bercengkrama dengan anggota keluarga yang lain.

Isi kepalanya hanya memutar nama Bagas berulang kali. Setiap kalimat yang diucapkan suaminya menjadi melodi kesedihan yang merenggut sebagian nalar berpikirnya. Pasti Bagas sedang menghabiskan waktu bersama selingkuhannya. Ternyata keluarganya tidak lebih penting dibandingkan wanita lain itu.

Suara pintu yang diketuk membuyarkan lamunan Praya. Sosok wanita yang masih terlihat cantik di usia tuanya itu, kemudian masuk ke kamar sembari memberi senyum lembutnya. Senyum yang selalu bisa menghangatkan hati Praya.

"Kamu lagi nggak enak badan?" tanya Arini, lalu ikut duduk di tepi tempat tidur.

"Nggak, Bu. Hanya sedikit capek aja." Praya membetulkan posisi duduknya. Kacamata yang tadi ia lepas, dipakainya kembali.

Happiness is a Butterfly [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang