Napas Bagas terengah saat mencapai puncak birahi. Matanya terpejam, meresapi desir nikmat yang menjalar di bagian bawah tubuhnya. Kedua tangan ia topangkan di atas tempat tidur. Menjaga agar tubuhnya tetap berada di atas tubuh Raisa.Raisa tampak pasrah dan membiarkan dirinya dijadikan pelampiasan hawa nafsu Bagas. Wanita itu seakan sudah memahami betul apa yang dibutuhkan Bagas saat ini. Memahaminya sebagai wujud ungkapan dari kerisauan yang saat ini sedang berkecamuk dalam diri Bagas.
Kerisauan Bagas yang tidak Raisa ketahui dengan pasti masalahnya. Namun, wanita itu cukup berhati-hati untuk bertanya secara langsung. Dan Bagas pun cukup sadar diri untuk tidak menceritakan apa yang sedang berkecamuk di dalam pikirannya. Masalah yang sedang ia coba lupakan sejenak. Walaupun nanti ia harus kembali menghadapi masalah itu.
Tubuh Bagas beringsut ke kanan. Melepaskan bagian dirinya dari tubuh molek Raisa. Wanita itu mengecup bibir Bagas sekilas, lalu menarik selimut hingga sebatas dada. Memperhatikan Bagas yang duduk di tepi tempat tidur dan menyesap sisa minuman di dalam gelas.
"Kamu ada masalah apa, sih?" tanya Raisa yang sejurus kemudian terduduk dan memeluk tubuh kekar Bagas dari belakang. Namun, Bagas belum menjawabnya.
"Mas ...." Raisa berbisik tepat di telinga Bagas, dan mengetatkan pelukannya. "Kamu cerita aja sama aku."
Bagas menanggapi dengan malas. "Bukan sesuatu yang penting."
"Tapi aku merasa kamu, tuh, beda hari ini."
Bagas lagi-lagi hanya menggeleng, tidak berminat untuk memberi penjelasan. Raisa yang masih diliputi tanda tanya pun, akhirnya memilih menahan rasa penasarannya. Dia kembali merebahkan diri dan bergelung di dalam selimut.
Sedangkan Bagas tetap pada posisi yang sama untuk beberapa saat. Memikirkan kekacauan hubungannya dengan Praya. Wanita yang telah membuat hidupnya menjadi kacau dan bercacat. Ibarat sebuah benda, Praya tidak cocok diletakkan di manapun. Bagas hanya ingin hidupnya sempurna.
Bagas lalu beranjak bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Di dalam sana ia hanya terdiam. Menatap pantulan diri di cermin yang mengungkap semua tentangnya. Marah, kecewa, benci, tapi juga ada rasa bersalah yang menjejali benaknya.
Momen semalam begitu meresahkan. Ia benar-benar tidak menyangka Praya akan senekat itu.
•••
Pisau itu dilempar Bagas setelah merenggutnya secara paksa dari tangan Praya. Sayatan di pergelangan tangan istrinya mengeluarkan darah. Bagas segera memeriksanya. Namun, ia bisa sedikit bernapas lega, karena bukan luka yang serius. Tidak sampai mengenai nadinya.
"Apa, sih, yang ada di pikiran kamu? Dasar bodoh!" bentak Bagas pada Praya yang bergeming tanpa ekspresi. Wanita itu bagai tubuh tanpa jiwa. Tatapannya hanya tertuju pada lantai.
Bagas terduduk di lantai. Ia memejamkan mata sebentar. Mengatur ritme napasnya yang bergejolak karena emosi. Ia benar-benar tak habis pikir kalau Praya akan berani mengambil jalan pintas seperti ini. Kekesalan Bagas semakin bertambah berkali-kali lipat melihat keterdiaman Praya. Ingin rasanya ia mengguncang dengan keras tubuh istrinya. Kalau perlu menamparnya agar sadar dari tindakan bodohnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness is a Butterfly [TAMAT]
Romance☆Ambassador's pick bulan Desember 2021☆ ☆Daftar Pendek Wattys Award 2022☆ Rumah tangga Praya dan Bagas tidak sebaik yang tampil di permukaan. Masing-masing menyimpan kekecewaan serta rasa frustasi pada pernikahan yang sudah mereka berdua jalani sel...