"JA***K!"
Seharusnya cerita ini nggak dimulai dengan umpatan. Tapi mau bagaimana lagi? Umpatan itu selalu terdengar sejak hari pertamaku menjadi murid SMA di Surabaya. Bahkan sebelum kata berawalan huruf J itu berkumandang keras dalam kelas ini, aku sudah sering mendengarnya.
Kali pertama menginjakkan kaki di Kota Pahlawan, tepatnya di Stasiun Surabaya Gubeng, sebuah umpatan menyambutku, dari seorang cowok yang kepleset.
Yap. Kepleset. Bukan alasan yang kuat untuk mengumpat, kan? Siapa coba, sasaran umpatannya? Lantai stasiun yang licin? Sol sepatunya yang nggak mencengkeram lantai dengan baik? Atau mungkin ... dia sedang mengumpati kesialannya sendiri karena jatuh dengan konyol di depan sekumpulan pramugari PT KAI yang cantik-cantik?
Sepertinya orang Surabaya selalu punya alasan untuk mengumpat. Atau mungkin ... mereka sebenarnya nggak butuh alasan untuk menyebut kata J yang sampai sekarang nggak kutahu artinya itu. Aku juga nggak menemukan pola yang teratur pada umpatan orang Surabaya. Sepertinya mereka bebas mengumpat kapan pun dan di mana pun. Waktu kesandung, waktu marah, waktu kaget, waktu heran ... bahkan yang paling aneh, mereka juga mengumpat waktu menawarkan bantuan.
"Woi, JA***K! Sido nyilih PR, nggak?! (Woi, JA***K! Jadi pinjam PR, nggak?!)"
"Sido, Rek! (Jadi, Bro!)"
"Nyoh, salinen PR-ku! (Nih, salin aja PR-ku!)"
"JA***K! Suwun, lho! (JA***K! Makasih lho!)"
Buset. Baru kali ini ada umpatan dipakai untuk berterima kasih.
Jujur saja, aku nggak nyaman terus-terusan mendengar umpatan. Tapi arek Suroboyo nggak bisa berhenti mengumpat, seolah umpatan adalah budaya kebanggaan mereka. Ini jelas beda dengan Jogja--kota asalku--yang masyarakatnya menjaga tutur kata, apalagi di lingkungan keluargaku. Keluarga besarku sangat menjunjung tinggi unggah-ungguh atau tata krama. Bagi kami, umpatan adalah sesuatu yang kasar. Sangat kasar! Kalau ada orang di keluargaku yang mengumpat (meski nggak sengaja), mbah Warsito--pimpinan para abdi--pasti langsung mengomelinya panjang lebar soal tata krama.
Tadinya aku bersyukur punya mbah Warsito yang giat mendidikku agar jadi orang beretika. Tapi sekarang ... ingin rasanya menyalahkan simbah. Kalau saja dia lebih fleksibel soal etika, mungkin aku nggak perlu setersiksa ini hidup di tengah warga Surabaya yang etika berbahasanya cenderung anti-mainstream.
Duh ... kapan ya, bisa kerasan di Surabaya? Sampai sekarang aku belum tahu apa yang menarik dari kota ini. Makanannya cenderung asin, hawanya bikin gerah, airnya nggak sesegar air di Jogja, cewek-ceweknya pun belum ada yang menarik. Cewek Surabaya terlalu agresif dan heboh menurutku. Atau mungkin ... akunya yang susah move on dari Kirana--cinta monyet yang sekarang jadian sama sepupuku. Selama ini yang bisa bikin aku lupa sebentar sama Kirana cuma cewek-cewek anime yang imut, bermata besar, berbulu mata lentik, dan bersuara lucu kayak Hatsune Miku.
Seandainya ... seandainya saja ada cewek menggemaskan kayak Miku-chan di kota ini, pasti aku nggak akan tersiksa kayak sekarang.
"Hellooow, mana ada sih, cewek dunia nyata yang mirip cewek anime? Ekspektasimu terlalu tinggi, Yoshizawa!"
Itu tadi suara akal sehatku. Jangan tanya kenapa dia memanggilku Yoshizawa yang notabene bukan namaku.
"Hai, Raka."
Nah! Itu baru namaku, dan yang menyapa ini Hilda, murid satu-satunya yang mau mengajakku ngobrol sejak Masa Orientasi Siswa. Cuma dia yang nggak canggung menghadapiku yang susah beradaptasi dan lebih banyak diam. Sayangnya, aku kurang nyaman ngobrol sama dia. Bicaranya ngalor ngidul nggak jelas, tentang sesuatu yang nggak penting dan kadang nggak kupahami pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me and My Dear Brunchmate
Teen FictionHanya cerita ringan nan ceria penuh keuwuan. Cocok untuk mengusir galau dan meningkatkan imunitas. * * * Raka pikir nggak ada cewek dunia nyata yang menarik seperti cewek dua dimensi, sampai Nana muncul dan jadi teman makan siangnya. Nana seimut cew...