Rasanya bel istirahat berbunyi lebih cepat hari ini. Atau mungkin, jam belajarnya terasa lebih pendek karena satu jam pertama dihabiskan dengan berdiri di lapangan? Yah, apa pun penyebabnya bukan masalah. Yang jadi masalah adalah ....
Bagaimana cara menghabiskan jam istirahat yang panjang tanpa komik One Piece? Masa aku harus baca diktat Akuntansi ini?
"Raka lagi ngapain?"
Lagi nggak mau diganggu.
"Waahh, Raka rajin banget, ya. Pas istirahat pun, baca buku pelajaran," puji Hilda yang sudah berdiri di dekat mejaku.
Diktat Akuntansi spontan kututup. Lebih baik bengong karena nggak ngapa-ngapain daripada dibilang sok rajin. Sudah terlalu banyak predikat 'sok' yang kusandang gara-gara susah membaur dan beradaptasi. Sok keren, sok cool, sok kaya, sok jaim, sok eksklusif, dan sok-sok lainnya.
Bagaimana aku tahu semua predikat itu? Tuyul penunggu pohon randu di depan kelas yang ngasih tahu.
Aku nggak sedang bercanda, lho. Hal-hal gaib sudah jadi makanan sehari-hari di keluarga besarku. Semua anggota keluargaku berprofesi sampingan sebagai praktisi supernatural. Jadi berteman dan bergosip dengan lelembut itu hal biasa bagi kami.
"Kamu nggak ke kantin?" tanyaku setengah mengusir.
Hilda juga baru mengusir murid yang duduk di depanku. "Kenapa? Raka mau ke kantin bareng aku?" tanyanya sambil menduduki bangku milik murid yang terusir.
Tahan ... tahan ... jangan muter bola mata. Itu nggak sopan. "Biasanya kamu kan istirahat di kantin bareng temen-temenmu dari kelas lain. Jangan bikin mereka nunggu."
"Iiihh, Raka baik banget, deh, sampai mikirin temen-temen satu gengku. Tapi mereka nggak nunggu, kok. Aku udah bilang kalau mau di kelas nemenin Raka."
Spontan kusemburkan kata berawalan huruf J keras-keras ... tapi cuma dalam hati. Kalau aku tetap di kelas, Nyi Blorong satu ini pasti ngoceh ngalor ngidul lagi seputar kekayaan ortunya.
"Eh, lho! Mau kemana, Raka?"
"Toilet."
"Nanti balik sini lagi atau gimana?"
Aku tetap ngeloyor keluar kelas, pura-pura nggak dengar pertanyaan Hilda. Kalau sampai dia ikut ke toilet, bisa kujambak rambutnya yang penuh ikal buatan itu.
Jam istirahat masih 55 menit lagi. Harus nunggu di mana aku sampai istirahat selesai? Di kelas, ada Hilda. Di kantin, terlalu ramai. Di perpus, nanti dibilang sok rajin.
Sambil membayar air mineral botolan yang baru kubeli di penjual minuman dingin, aku melirik bangunan tua yang sedikit terlihat di belakang gedung perpustakaan. Pasti itu gudang buku SMA Manunggal yang terkenal angker.
Menurut cerita, bangunan SMA-ku ini dulunya rumah sakit, dan gudang buku itu kamar mayatnya. Nggak ada murid yang mau nongkrong di sekitar situ. Bahkan kakak-kakak kelas trouble-maker pun nggak cukup berani untuk merokok atau minum miras sembunyi-sembunyi di sana.
Yosh! Sepertinya aku menemukan tempat yang oke untuk menghabiskan jam istirahat.
Sewaktu masuk ke halaman gudang buku, aku jadi lebih paham kenapa tempat ini dihindari semua orang. Meski bebas sampah, suasananya benar-benar suram. Terasa banget residu energi negatifnya. Berarti tempat ini dulunya memang kamar mayat. Ada aura kesedihan dan kematian yang cukup kental.
Kududuki bangku kayu panjang di halaman gudang buku. Bangku itu diletakkan menempel pada tembok penuh bocel yang memagari bangunan. Dua pohon beringin besar nan rindang menaungi halaman ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me and My Dear Brunchmate
Teen FictionHanya cerita ringan nan ceria penuh keuwuan. Cocok untuk mengusir galau dan meningkatkan imunitas. * * * Raka pikir nggak ada cewek dunia nyata yang menarik seperti cewek dua dimensi, sampai Nana muncul dan jadi teman makan siangnya. Nana seimut cew...