13. Everything is Misdirected

913 244 167
                                    

Surya keluar dari salon langganan mamanya dengan perasaan puas. Tidak sia-sia uang saku jatah clubbing dihabiskan demi memermak penampilan.

Siang ini ia perlu terlihat jantan dan berwibawa, kalau bisa juga intimidatif. Memerintah segerombolan preman yang terbiasa melakukan pekerjaan kotor sungguh berbeda dengan menyuruh-nyuruh berandalan remaja. Preman jauh lebih kasar dan berbahaya. Surya ingin menghilangkan kesan anak ingusan pada dirinya agar tak diremehkan para preman. Karena itu ia berdandan seperti bos mafia dalam film jadul kesayangan papanya.

Sekarang tinggal menunggu kabar dari anggota komplotan. Kalau rencana hari ini berjalan mulus, Hilda pasti menghubunginya tak lama kemudian. Setelah itu, Surya bisa memerintahkan preman-premannya untuk bergerak.

Ponsel Surya berbunyi. Saat melihat siapa peneleponnya, ia mengernyit heran karena bukan nama Hilda yang berkedip di layar, melainkan nama pimpinan para preman.

"Halo, Bos," sapa suara di seberang telepon. "Paket sudah kami amankan."

Lah! Kok bisa?

Padahal paket yang dimaksud, seharusnya baru bisa diamankan setelah ada kabar dari Hilda.

Hm ... mungkin kondisi di lapangan memaksa orang-orang itu berimprovisasi. Surya mencoba berpikir positif meski tak bisa seratus persen menyingkirkan firasat negatifnya.

Dan ternyata ... firasat negatif itu benar, Saudara-Saudara.

"LHO!" seru Surya kaget saat menemui para preman di markas mereka. Ia melotot tak senang melihat paket yang sudah diamankan. "Siapa ini?!"

"Pacarnya mbak Nana, Bos," sahut pimpinan preman yang berpostur seperti Herkules.

Surya mengarahkan lagi pandangannya pada cowok kerempeng yang terbaring miring di lantai dengan kaki tangan terikat dan mulut tersumpal. Cowok itu gemetaran. Matanya mengarah ke sana kemari dengan panik. Ia terlihat luar biasa ketakutan, padahal baru diikat, belum juga diapa-apakan.

Meski Surya berusaha keras mencocokkan antara ekspektasi dan realita, tetap saja hasilnya beda. Mau dilihat dari mana pun dan dipelototi selebar apa pun, cowok itu memang bukan paket yang diharapkan.

Bukan Si Banci Raka, tepatnya.

"Kan Bos nyuruh saya nangkep pacarnya mbak Nana," debat preman Herkules. "Ya ini pacarnya. Yang tiap hari nganter jemput mbak Nana."

Surya baru ingat, selain dengan Raka, Nana juga pacaran dengan tukang antar jemputnya. "Bukaaann! Bukan pacar yang ini!"

"Lha memangnya, pacar mbak Nana ada berapa, Bos?"

Ingin rasanya Surya meledak marah. Ia telanjur menghambur-hamburkan uang saku untuk menyewa sekelompok preman profesional, tapi orang-orang itu dengan bodohnya mengubrak-abrik rencana. Tahu begini, Surya pilih mengerahkan pasukan berandalannya saja. Mereka sudah cukup senang dibayar dengan miras oplosan, jadi uang saku yang biasa dipakai untuk clubbing tidak perlu sampai habis.

Tapi rencana harus tetap berjalan. Satu kekeliruan tidak boleh merusak segalanya. Maka Surya pun memutar otak yang sudah lama tak diputar. Ia memaksa tiap sel karatan di otaknya bekerja rodi. Lalu beberapa menit kemudian, muncullah plan B yang menurutnya cukup brilian.

Alih-alih menghajar dan mengancam Raka agar menjauhi Nana seperti rencana semula, Surya akan memanfaatkan cowok kerempeng di depannya untuk meraih simpati Nana.

Caranya?

Satu, ia akan memberi tahu Nana soal Si Kerempeng yang diculik preman.

Dua, menawarkan diri pada Nana untuk menyelamatkan Si Kerempeng.

Me and My Dear BrunchmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang