11. Love Will Always Liberate

1.1K 236 80
                                    

🎶

Malu aku malu
Pada semut merah
Yang berbaris di dinding
Menatapku curiga
Seakan penuh tanya
"Sedang apa di sini?"
"Menanti pacar," jawabku.

🎶

Bukannya disambung refrein, lagu jadul itu justru dilanjut dengan tawa nyaring mbak Kunti dan mas Kunto yang sedang nangkring di dahan beringin. Mereka selalu menyanyikan lagu yang sama tiap kali aku muncul di gudang buku tanpa Nana-chan. Meski duo lelembut itu mendukung PDKT-ku ke Nana-chan, mereka kelihatan bahagia banget waktu tahu hubungan kami sedang bermasalah.

Sambil mengayun-ayunkan kaki yang tertutup daster putih lusuh, mbak Kunti menawariku dengan genit, "Mas Rakaaa, nanti kalau udah nggak kuat nahan patah hatiii, boleh lho, gantung diri di pohon ini, ihihihiiii!"

"Iya Maaas. Nantiii dahan yang dekat tembok bocel ituuu bisa dipakai jadi tangkringannya Mas Raka, huahahaa!" timpal mas Kunto.

Lelembut SEMPRUL! Minta dieksorsis kali ya, setan-setan ini.

Aku memerosotkan diri di bangku panjang yang menempel pada tembok bocel. Meskipun usang dan satu kakinya nyaris patah, bangku ini sudah seperti singgasana bagiku dan Nana-chan.

"Ini singgasana milik Baginda Rakai Pikatan--Raja Medang dan Gusti Kencanawungu Pramitha--Ratu Majapahit," seloroh Nana-chan pada suatu siang. "Anggap saja kerajaan kita merger. Raka jadi raja, Nana ratunya."

Dia nggak sadar guyonan ngasal itu bikin aku kegeeran setengah mati, insomnia berhari-hari, dan sering senyum-senyum sendiri.

Sekarang bangku ini jadi terasa panjang banget gara-gara ratuku absen. Sudah tiga hari kami nggak nge-brunch bareng. Jam istirahat siang jadi kurang seru dan lidahku pun kangen masakan Nana-chan.

Jadi gini rasanya dicuekin istri? Nggak ditengok, nggak diajak ngobrol, nggak dimasakin. Sedih banget.

Nana-chan benar-benar serius menghindariku. Waktu kudatangi kelasnya dua hari lalu, Tri dan Toro yang muncul. Padahal Nana-chan ada di kelas, tapi dia pura-pura nggak tahu.

"Sori banget ya, Bro. Kami nggak bisa bantu banyak," jelas Toro bersimpati. "Tiap kali dikasih pengertian, kamus hard cover melayang. Kami nggak mau ambil risiko kepala bocor atau muka penyok kena lempar kamus segede gaban. Muka udah pas-pasan gini, penyok pula. Bisa tambah jauh jodoh kami, Bro."

Tri menimpali, "Mending biarin dulu sampai emosinya reda, Bro. Ntar kalau dia kangen, pasti nyapa-nyapa sendiri."

Jelas sekali kalau Tri dan Toro mengira aku sedang bertengkar dengan Nana-chan, padahal enggak.

Aku melirik komik Tsubasa Reservoir Chronicle milik Nana-chan yang tergeletak di bangku panjang. Akhirnya bu Astuti mau mengembalikan komik itu, meski harus kusogok pakai sekendil besar gudeg Jogja komplit. Tapi ... kondisi komiknya udah nggak tertolong. Kusut parah dan penuh noda permanen. Padahal Nana-chan menganggap komik ini berharga. Mengembalikan barang kesayangannya dengan kondisi begini, pasti bikin dia tambah sedih.

Kuambil dan kubuka-buka komik itu. Pada halaman judul, terlihat tulisan bolpoin yang sudah agak luntur.

"Teruntuk Adekku, Kencana Pramitha yang manis dan mengagumkan: Selamat ulang tahun yang ke-15. Mas selalu bangga sama Adek. Semoga semua yang Adek cita-citakan, menjadi kenyataan."

Damar Prasetya


Damar? DAMAR?!

Jadi komik ini pemberian kakaknya? Jadi karena yang ngasih mas Damar, Nana-chan menganggap komiknya barang keramat? Kalau fakta ini digabungkan dengan cara Nana-chan nempel ke mas Damar pas lagi boncengan, jangan-jangan ... Nana-chan itu ....

Me and My Dear BrunchmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang