02. Judging the Book by Its Cover

3.2K 523 285
                                    

"Dia lewat! Dia lewat!"

Sontak suara gerudukan memenuhi kelas. Cewek-cewek bergerak cepat ke arah yang sama. Semuanya berjajar di sepanjang jendela, membuka jendela-jendela itu, lalu memekik-mekik kegirangan seolah ada artis lewat.

"Rakaa! Rakaaa!"

Dia memang sudah jadi artisnya SMA Manunggal. Murid kelas 10 IPS-4 itu sudah bikin heboh sejak MOS, padahal dia nggak melakukan apa-apa selain pasang tampang jaim.

Anteng aja bikin gempar. Gimana kalau banyak tingkah?

"Rakaaa! Lihat sini, dong!"

Cowok itu, yang sekarang sedang jalan melewati kelas ini, kelihatan ogah-ogahan banget waktu noleh sambil senyum. Senyum ngasal itu ternyata sudah cukup untuk memperparah kehebohan, karena para cewek langsung jejeritan kayak kesurupan massal.

Aku, Tri, dan Toro benar-benar bingung, harus tutup kuping karena berisik atau tutup muka karena malu lihat kelakuan cewek-cewek kelas kami.

"Dasar cewek-cewek gatel!" cetus Tri sambil geleng-geleng. "Tiap kali si Raka lewat, semua cewek langsung edan berjemaah."

"Nggak semua cewek, kali. Nih, ada satu yang adem ayem aja," koreksi Toro sambil menunjukku dengan dagunya.

Tri mendengus geli. "Kalau Nana sih, tertariknya cuma sama bishounen. Cowok cantik dua dimensi. Cowok macem gini nih, yang jadi tipenya Nana!" tandasnya sambil menunjuk-nunjuk gambar tokoh cowok di halaman komik yang lagi kubaca.

"Lah! Si Raka itu kan juga cantik? Mana ada cowok yang kulitnya bersih bersinar kayak piring habis digosok Sunlight gitu? Kalau aku nggak tahu kami berdua sama-sama 'jeruk', udah kusikat jadi gebetan tuh, anak."

Mau nggak mau, ceplosan Toro bikin aku dan Tri ngakak habis-habisan.

"Heran, aku. Orang Jogja kan Jawa tulen. Kulit orang Jawa tulen biasanya eksotis, sawo-sawo matang gitu. Lha si Raka ini malah putih kinclong." Toro belum berhenti mengagumi kecantikan Raka.

"Mungkin dia masih keturunan ningrat. Jadi sebelum mandi, luluran dulu kayak putri-putri keraton," celetukku geli.

Sementara aku cekikikan membayangkan Raka luluran di pinggir kolam kerajaan, Tri dan Toro melirik curiga.

"Hei, Nana. Kamu beneran nggak tertarik sama Raka? Kamu bukan tipe cewek yang ... 'jeruk minum jeruk', kan? AWW!"

Jidat Tri baru kutabok pakai diktat Bahasa Jerman. "Sembarangan! Nggak semua cewek cuma lihat dari tampang, tahu?! Percuma tampang keren kalau terlalu cuek kayak Raka. Tipe cowok idamanku itu yang peduli dan perhatian."

Kayak mas Damar.

"Kalau cuma peduli dan perhatian," Toro menyodorkan muka sambil cengengesan, "kangmas Bintoro ini juga bisa lho, dipertimbangkan jadi gebetan ... AWW!"

Sambil berusaha meratakan diktat Bahasa Jerman yang sekarang penyok kena jidatnya Toro, kutambahkan satu poin lagi dalam kriteria cowok idamanku. "Peduli, perhatian, dan ... nggak HENTAI (mesum)!"

Tri tergelak melihat Toro--teman cowok satu-satunya di kelas ini--nyusul gosok-gosok jidat. Puas ngakak, dia berkomentar, "Ternyata masih ada ya, cewek yang nggak mementingkan visual. Aku yang tampangnya pas-pasan ini langsung lega begitu dengar omonganmu, Nana."

Yah, sebenarnya aku nggak munafik. Secara penampilan, Raka memang lebih menggoda ketimbang mas Damar yang nggak tahu caranya berpenampilan. Tapi buat apa ganteng kalau ternyata makan ati? Dilihat dari gayanya yang sok berkelas dan nggak friendly, si Raka itu sepertinya tipe cowok yang makan ati. Gimana-gimana tetap mendingan mas Damar yang perhatian dan baik hati.

Me and My Dear BrunchmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang