08. Deceived by Appearance

1.2K 300 180
                                    

"Raka selalu bawa handuk dan baju ganti?"

Gawat! Aku sama sekali nggak kepikiran bakal ditanya soal itu. Pasti aneh banget, kalau aku tiba-tiba bawa handuk dan baju ganti ke sekolah tanpa alasan.

Alasan apa ya, yang cukup masuk akal?

"Kebetulan pulang sekolah nanti Raka latihan kendo. Makanya hari ini bawa handuk dan baju ganti."

"Oo," gumam Nana-chan paham, meski tampangnya masih penuh tanda tanya. "Terus kalau bajunya dipakai Nana, Raka nanti pakai apa pas latihan kendo?"

"Kalau itu sih gampang, nggak usah dipikirin," jawabku lega karena sudah mengarang jawaban yang tepat, meski nggak seratus persen benar. Jelas nggak mungkin latihan kendo pakai kaus dan celana training. Wong ada kostum khusus kendo. Semoga aja Nana-chan nggak tahu soal itu.

Ini benar-benar hari yang menghebohkan. Semua gara-gara Hilda. Kalau dia nggak bikin drama, waktu istirahat siangku bareng Nana-chan nggak akan kepotong banyak.

Kemarin, mbak Kunti dan mas Kunto membocorkan rencana Hilda dan teman-teman satu gengnya untuk mengerjai Nana-chan. Untuk mengantisipasi hal itu, yang bisa kulakukan cuma membawakan handuk dan baju ganti. Kalau Hilda benar-benar berulah, setidaknya Nana-chan nggak perlu masuk angin karena pakai baju basah seharian.

Siang ini Hilda benar-benar menjalankan rencana busuknya. Aku sedang menunggu Nana-chan di gudang buku sewaktu mbak Kunti tiba-tiba datang dengan menembus tembok. Dia memberitahuku soal keributan antara Hilda dan Nana-chan di koridor dekat taman. Tanpa pikir panjang, larilah aku ke parkiran, mengambil handuk dalam tas yang tergantung di motor.

Dari parkiran, mbak Kunti terus-terusan merecokiku agar cepat sampai ke tempat Nana-chan. Gara-gara panik direcoki, aku terpaksa beraksi ala ninja kesiangan yang lari dan lompat dari atap ke atap demi ngedapetin jalan pintas. Tapi dibanding ninja yang beraksi penuh perhitungan, aksiku ... penuh kecerobohan. Gimana enggak? Wong sempat kepleset, jatuh guling-guling, terus gantung-gantung di tepian atap. Belum lagi acara kejar-kejaran sama angsa-angsa piaraan sekolah yang berkoak-koak marah, berusaha menyosorku. Ya salahku juga sih, sudah menjatuhi baskom makanan mereka sampai hancur.

Sori, Angsa. Nanti kuganti deh, baskom dan dedaknya.

Singkat cerita, semua kehebohan hari ini berhasil terlewati. Aku menolong Nana-chan dan memberi Hilda pelajaran. Sepanjang sisa hari ini, Hilda berhenti menyapa dan mengajakku bicara. Jangankan menyapa, melirik saja nggak mau. Sebenarnya, aku merasa bersalah sudah mempermalukan dia di depan umum. Tapi mau gimana lagi? Sikapnya ke Nana-chan memang keterlaluan. Kalau nggak ditegur dengan keras, bisa tambah ngelunjak (menjadi-jadi) nantinya.

Dalam kelas kosong selepas bubaran sekolah, kukeluarkan kamera poket yang selalu ada di saku sejak seminggu terakhir. Kamera menyala, lalu hasil jepretan yang kuambil secara sembunyi-sembunyi bak paparazi, terpampang di LCD.

Aku nggak paham teknik fotografi, jadi hasil jepretan ini nggak bisa disebut masterpiece. Untungnya, obyek fotoku benar-benar masterpiece. Mau angle-nya ngawur, komposisinya kacau, gambarnya agak blur, foto-fotonya tetap menyenangkan untuk dilihat.

Nana-chan memang fotogenik. Mau difoto dari sudut mana pun, dia tetap kelihatan manis dan menggemaskan. Sepertinya kamera ini cinta sama dia.

Hei, Kamera. Nana-chan itu punyaku, lho! Jangan harap bakal kubagi sama kamu.

Setelah lirak-lirik kanan kiri, dan yakin nggak ada yang ngelihatin, cepat-cepat kucium LCD yang masih nampilin foto Nana-chan. Untuk sekarang, nggak apa-apa lah ya, cium fotonya dulu. Nanti kalau udah halal, baru cium orangnya, hihihi.

Me and My Dear BrunchmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang