06. Expect the Unexpected

1.6K 331 119
                                    

Sisa hari itu kuhabiskan di depan televisi, menonton aksi demo di dekat Universitas Kahuripan--kampus mas Damar. Channel TV terus kuganti-ganti. Tiap jeda iklan di satu channel, kucari berita demo di channel lain. Aku perlu tahu kondisi di sekitar kampus karena mas Damar nggak bisa dihubungi.

Well ... sepulang sekolah tadi dia sempat kuhubungi, sih. Tapi mas Damar bilang, baterai HP-nya tinggal segaris, dan dia nggak bisa dihubungi lagi setelah itu.

Kata reporter barusan, jalanan di sekitar Universitas Kahuripan ditutup total dan penutupan itu membuat kondisi lalu lintas macet luar biasa. Akses keluar-masuk kendaraan beneran nggak ada. Yang mau ke kampus terpaksa putar balik, dan yang telanjur di dalam kampus, terpaksa nunggu sampai demonya selesai.

Setelah kutunggu berjam-jam sambil berharap-harap cemas, akhirnya mas Damar sampai juga di rumah sekitar jam tujuh malam. Dia datang dengan kondisi shock, linglung, dan kucel, kayak habis dikejar pasukan zombie. Bajunya berantakan, kacamatanya miring. Rambutnya yang nggak pernah bisa rapi, jadi tambah mencuat di sana-sini. Udah gitu, tampang mas Damar kayak mau nangis.

Mungkin suasana demo di kampusnya jauh lebih menegangkan daripada yang diberitakan di TV.

Menurut berita, demo tadi siang sempat kisruh karena terjadi bentrok antara polisi dan ormas pendemo. Massa sempat meluber ke area kampus. Meski nggak ada manusia yang jadi korban, beberapa properti kampus rusak kena lemparan batu.

Mas Damar sebetulnya nggak berniat nonton demo seperti teman-temannya, tapi dia terpaksa mendekat ke lokasi demi mencari tahu, apakah situasinya sudah cukup aman untuk pulang. Pas sampai di TKP, tahu-tahu dia terkepung di tengah lautan manusia, di antara para demonstran, polisi, wartawan, dan penonton demo.

Alhasil mas Damar panik bin kebingungan.

Setelah sempat keseret-seret arus manusia, nggak tahu gimana caranya, mas Damar akhirnya berhasil keluar dari keruwetan dan melarikan diri. Setelah itu dia langsung balik gedung fakultas dan sembunyi di sana sampai malam tanpa berani tengok-tengok aksi demonya lagi.

Mas Damar menceritakan semuanya sambil gemetar dan terbata-bata. Baginya, pengalaman terjebak kerumunan massa pasti menakutkan banget. Ada dua hal yang selalu bikin mas Damar gelisah. Satu, berhadapan dengan orang nggak dikenal. Dua, berada di tengah orang banyak. Lha pas demo tadi, orang yang nggak dia kenal, buuaaaanyyaaakkk buuaangeeett. Plus, semuanya lagi emosi. Kebayang kan, gimana paniknya dia?

Payah banget, ya? Pasti itu pendapat orang tentang mas Damar. Ya memang, sih. Mas Damar itu sebagai cowok, rapuhnya nggak ketulungan. Tapi justru sisi rapuh itu yang bikin hatiku meleleh. Di mataku, dia kayak bayi kucing yang nangis-nangis ditinggal induknya, butuh dielus-elus dan disayang-sayang.

"Uu cayaang, cayaaanngg," batinku sambil mengelus-elus rambutnya yang berantakan.

"Ma--maafin mas ya, Dek. Mas ... mas tadi lu--lupa bawa duit bu--buat isi pul--pulsa. Makanya nggak ... nggak bisa hu--hubungi Adek."

"Iya, iya Mas, nggak apa-apa."

Mata mas Damar masih menatapku berkaca-kaca dan memelas, kayak minta dikasihani. Dan nggak cuma kasihan, aku juga ingat sama Puss in Boot di film Shrek pas lagi pasang tampang nggemesin.

"A--Adek tadi jadinya pu--pulang naik apa?"

"Dianter temen, Mas."

"Te--temennya Adek ... cowok? A--atau cewek?"

Kenapa nanya jenis kelamin? "Cowok."

Sesaat. Sesaat banget ... aku ngerasa tatapan nelangsa mas Damar berubah jadi kesal, tapi cuma sebentar. Bisa saja aku salah lihat. Karena mas Damar bukan orang yang gampang kesal, apalagi marah. Setelah kuperhatikan baik-baik, tatapannya ternyata lebih mengandung tanda tanya daripada kekesalan.

Me and My Dear BrunchmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang