"Lho, Dek?" Mas Damar menatap kaget sewaktu aku mendatangi bilik warnet yang ditempatinya. "Su--sudah selesai acaranya?"
Aku menggeleng. "Nana mau pulang sekarang."
Mas Damar terbengong sebentar, sebelum akhirnya berkata, "Oh ... oke. Mas beresin barang du--dulu, ya."
Sambil buru-buru berkemas, mas Damar sesekali melirikku penasaran. Mungkin dia heran aku pulang lebih cepat dari rencana. Yah, kalau bukan karena kejadian di Gedung Serba Guna, aku pastinya masih berkeliaran di event bareng Raka.
Ah ... Raka.
Pipiku langsung memanas cuma gara-gara membatin namanya. Begitu kejadian di Gedung Serba Guna melintas dalam pikiran, panas di pipi menyebar ke seluruh badan.
"Dek," cetus mas Damar selesai membayar ke petugas warnet. "Adek kenapa? Kok mu--mukanya merah banget?"
Aku langsung menggamit lengan mas Damar dan menariknya keluar warnet. Yang kubutuhkan sekarang cuma pulang, meninggalkan kampus ini sesegera mungkin.
Di luar warnet, Raka terlihat berdiri menunggu dengan tampang gusar. Dia menatapku. Tampak mau mendekat tapi ragu. Ekspresinya masih sama seperti ketika membuntutiku ke sini ... seperti orang yang butuh penjelasan.
Sori Raka, ini bukan salahmu. Semua murni masalahku pribadi dan nggak ada yang bisa kulakukan selain menjauh darimu untuk sementara.
Atau seterusnya.
***
Aku masih ingat pertemuan pertama dengan mas Damar. Waktu itu umurku 6 tahun. Papa mengajak ke rumah sakit, untuk membesuk seseorang yang katanya akan jadi kakakku.
"Nana mau kakak cowok," putusku seketika.
Papa yang sedang menyetir mobil, menoleh singkat sambil tersenyum heran. "Kenapa harus cowok?"
"Bial ada yang jagain Nana kalau di cekolah."
"Haha masuk akal, masuk akal," sahut papa. Tangan kirinya menggosok puncak kepalaku. "Mas Damar memang cowok. Tapi jangan Nana terus yang minta dijaga. Sama saudara itu harus saling menjaga. Mas Damar jagain Nana, Nana juga harus bisa jaga mas Damar kalau dibutuhkan."
"Oke. Ciapa tatut." Jawabanku lagi-lagi menuai gosokan gemas di kepala dari papa.
Mas Damar adalah anak tante Amelia, calon istri papa, sekaligus calon ibu tiriku. Begitu kami sampai di rumah sakit, harapanku punya kakak cowok yang protektif dan suka memanjakan adik langsung sirna.
Mas Damar itu lemah, baik fisik maupun mental. Dia juga canggung dan pemalu. Benar-benar menyedihkan, jauh dari tipe kakak yang kuinginkan. Tapi aku nggak bisa membencinya, karena mas Damar berusaha jadi teman sekaligus saudara yang baik. Dia nggak pernah marah dan selalu menuruti kemauanku. Disuruh ini itu manut aja, juga sabar mendengar ocehanku yang pasti di luar pemahaman atau minatnya. Sikap mas Damar membuatku sadar, kakak yang ideal tidak harus keren, protektif, atau suka memanjakan. Tapi yang tulus menyayangi dan perhatian.
Aku pun belajar menyayangi mas Damar dengan segala kekurangannya.
Setelah tujuh tahun menikah, papa dan mama Amelia memutuskan bercerai. Papa memilih tinggal bersama istri mudanya yang menolak keberadaanku. Mama Amelia yang sudah setahun meniti karier di Jakarta, mengajak mas Damar angkat kaki dari rumah.
Perceraian itu memaksaku tinggal sendirian di kota ini. Meski papa tetap membiayai semua kebutuhan hidup, yang lebih kubutuhkan adalah keluarga. Keluarga yang peduli dan menganggapku penting. Yang membuatku nggak pernah merasa kesepian. Tapi apa mau dikata? Aku nggak berhasil membujuk papa meninggalkan istri mudanya, juga nggak berhak meminta mama Amelia mencabut gugatan cerainya. Mau nggak mau aku harus membiasakan diri dengan sepi dan menerima nasib sebagai orang yang paling nggak diinginkan dalam keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me and My Dear Brunchmate
Teen FictionHanya cerita ringan nan ceria penuh keuwuan. Cocok untuk mengusir galau dan meningkatkan imunitas. * * * Raka pikir nggak ada cewek dunia nyata yang menarik seperti cewek dua dimensi, sampai Nana muncul dan jadi teman makan siangnya. Nana seimut cew...