07. Say No to Bullying

1.2K 299 171
                                    

Setelah lewat tiga hari, penggemar-penggemar Raka masih belum bosan bersikap sinis. Protes yang tadinya cuma berbentuk tatapan ingin membunuh, mulai berkembang menjadi gosip dan komentar miring.

Aku sih, nggak terlalu ambil pusing. Tatapan dan gunjingan nggak akan berarti apa-apa selama aku nggak berbuat salah. Toh itu cuma ungkapan kebencian yang nggak berdasar. Yang rugi, ya penggosip-penggosip itu sendiri. Rugi waktu dan rugi perasaan. Daripada energinya dipakai buat membenci orang lain, mending buat membahagiakan diri sendiri, kan?

Tapi sumber kebahagiaan orang memang beda-beda. Ada yang baru bahagia setelah melihat yang lain menderita, dan bukan haters namanya kalau nggak berusaha menyengsarakan orang yang dibenci. Mungkin karena akunya damai-damai aja, para haters merasa perlu meningkatkan metode pengusikan.

Mereka mulai menyerangku secara fisik.

Siang itu, pas lagi jalan ke gudang buku, tahu-tahu ada yang menyemprotku pakai air slang. Ini jelas-jelas disengaja karena pas kena semprot, aku lagi jalan di koridor, bukan di taman sekolah. Jadi nggak mungkin kasus salah semprot, kan?

Kalau nyemprotnya pakai air ledeng, nggak masalah. Tapi ini air sumur yang biasa dipakai pak Bon nyiramin tanaman. Air sumur di Surabaya beda dengan di desa. Nggak ada seger-segernya, plus ... bau aneh.

Bukannya menolong, sekumpulan cewek yang berdiri di dekatku malah cekikikan heboh. Mereka menunjuk-nunjukku yang basah kuyup dari atas ke bawah. Cowok-cowok pada melotot lihat blus seragamku yang jadi transparan karena basah. Otomatis kututupi dadaku sebisanya pakai tas bekal.

"Ngapain ditutupi segala?!"

Celetukan bernada sinis itu jelas ditujukan untukku, dari seorang cewek yang rambutnya penuh ikal buatan.

"Tunjukin aja! Nggak usah ditutupi! Toh kamu aslinya juga nggak tahu malu!" celanya lagi, diiringi tawa cewek-cewek satu gengnya.

Dia itu ... Hilda. Cewek yang dipanggil Medusa sama Raka. Dulu aku merasa, dia dan Raka bakal jadi pasangan serasi karena punya banyak kesamaan. Sama-sama anak tunggal pengusaha sukses, sama-sama punya tampang yang enak dilihat, dan sama-sama murid kelas 10 IPS-4. Sekarang, setelah tahu kelakuannya norak dan ababil gini, aku berubah pikiran.

Hilda dan Raka nggak cocok jadi pasangan. Karakter mereka terlalu bertolak belakang. Hilda manja dan egois, Raka mandiri dan peduli. Kasihan banget Raka kalau punya pacar bossy kayak Hilda. Mending dia jadian sama aku. Meskipun galak dan ngeyelan, aku nggak akan semena-mena sama Raka.

"Woi, Cebol!" seru Hilda. "Kenapa malah ngelamun? Minta disemprot, lagi?"

Geng cewek populer itu lagi-lagi ngakak-ngakak nggak jelas. Kok bisa, sih, orang satu geng kompak gaje semua? "Mau kamu sebenarnya apa?!"

Bukannya menjawab, Hilda malah menyemprotku lagi. Kali ini semprotannya mengarah ke muka. Air slang yang tekanannya lumayan kuat, menerjang mukaku tanpa ampun. Aku otomatis terbatuk-batuk karena banyak air masuk ke hidung.

"Aku mau ngajari cewek nggak tahu diri kayak kamu!" ketus Hilda setelah puas menyemprotku. "Berhenti ngedeketin Raka. Kamu tuh, bukan apa-apa bagi dia."

"Lha kamu sendiri apanya dia?" tukasku balik. "Punya hak apa kamu, nyuruh-nyuruh aku berhenti ngedeketin Raka?"

Muka si Hilda langsung merah padam, kayak baru sadar sudah mendebat orang yang salah.

"Kenapa? Mau nyemprot lagi? Semprot aja! Udah kepalang basah juga. Asal kamu tahu, ya? Raka itu nggak gampang kepincut sama cewek yang ngedeketin dia. Buktinya, dia tetep nggak kepincut setelah kamu deketin, kan?"

Me and My Dear BrunchmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang