12. The Day of Reckoning

1K 235 97
                                    

Raka senang bukan kepalang. Setelah nyaris seminggu berjauhan, hubungannya dengan Nana berangsur normal. Nana kembali riang dan menggemaskan, membuat imajinasi Raka menggila seperti sedia kala.

Meski begitu, Nana lebih suka menyimpan sendiri semua masalah yang sempat mengganggunya, dan Raka menghormati pilihan Nana dengan tidak menanyakan. Apa pun yang terjadi, Raka cuma perlu mendukung. Ia sudah cukup bersyukur tidak diminta menjauh sebagai bentuk dukungan. Terutama karena Surya sempat mengancam Nana beberapa waktu lalu.

Sejak Surya mengancam secara terang-terangan, Raka terus mengawal Nana selama di sekolah, kecuali saat jam pelajaran. Ke mana-mana mereka selalu bersama. Karena nyaris tak terpisahkan, keduanya segera menjadi pasangan ikonik SMA Manunggal.

Murid-murid mulai terbiasa melihat Raka dan Nana sebagai kesatuan, hingga aneh rasanya jika salah satu dari mereka terlihat sendirian tanpa yang lainnya. Fans berat Raka mulai berhenti menggosipkan Nana, bahkan beberapa dari mereka berbesar hati mengakui keserasian pasangan itu. Pada akhirnya, warga SMA Manunggal merestui hubungan Raka dan Nana.

Kecuali Surya dan Hilda.

Mereka benci kekalahan karena sedari kecil selalu dimanja dan dituruti kemauannya. Tidak mendapat sesuatu yang mereka inginkan adalah sebuah kesalahan. Ditolak cewek adalah kesalahan bagi Surya. Diabaikan cowok terkeren di sekolah adalah kesalahan bagi Hilda. Dan kesalahan-kesalahan itu harus diluruskan, apa pun taruhannya.

Pagi itu, Surya dan Hilda diam-diam menatap penuh dendam pada Nana yang sedang turun dari boncengan. Cewek mungil itu melempar cium jauh berkali-kali pada cowok yang memboncengkannya, lalu berjalan ke arah Raka yang menunggu di samping gerbang dengan semringah.

"Cih! Dasar cewek murahan!" cela Hilda. "Lepas dari satu cowok, nemplok (nempel) ke cowok lainnya."

"Cowoknya juga goblok-goblok, tuh. Mau aja diduain sama Si Pisang," timpal Surya.

"Lha Mas Surya sendiri, kok malah berusaha jadi cowok ketiganya Pisang?" cibir Hilda.

"Aku sebenarnya nggak selera sama cewek cebol genit gitu. Kalau nggak lagi taruhan iseng sama sohib-sohibku, mana mungkin kubelain pedekate ke Pisang?"

"Jadi ceritanya, cuma mau macarin sebentar, terus ditinggal glodhak (tiba-tiba)?"

"Ya iya lah. Beda toh, sama kamu yang beneran tergila-gila sama cowok banci itu, haha!"

"Enak aja! Raka itu cowok metroseksual, bukan banci. Zaman sekarang, cowok yang jadi idaman para cewek ya yang rapi, ganteng, wangi kayak Raka. Peduli penampilan, bukan berarti banci, tahu?!"

"Huh! Mau banci kek, mau metromini kek, bagiku sama aja. Cowok yang pakai bedak itu pasti nggak beres .... Tapi ngomong-ngomong, dia pakai bedak merek apa ya, kok bisa licin gitu mukanya?"

Hilda berjengit risih. Amit-amit deh, kalau monster bau di sebelahnya ini mulai tertarik untuk bersolek. Hilda memang suka pada Raka yang pesolek. Tapi membayangkan Surya--yang tampilannya perpaduan antara tukang pukul dan tukang jagal--lagi nepuk-nepuk muka pakai spons bedak, langsung bikin perutnya mulas. "Jadi kapan nih, rencana balas dendamnya kita jalankan?"

"Kalau bisa secepatnya," geram Surya. "Aku sudah ngumpulin preman buat ngeroyok Si Banci."

"Preman sungguhan, apa berandalan sohib-sohibnya Mas Surya?"

"Preman, lah! Biar sekalian modar, tuh Banci!"

"Tapi premannya beneran bisa diandalkan, nggak?"

"Tenang aja. Preman-preman ini profesional. Biasa dipakai papaku buat ngurusin pekerjaan kotor. Mau Si Banci sekuat apa pun, dia nggak mungkin menang lawan preman satu kompi.

Me and My Dear BrunchmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang