Beberapa hari sebelum kepergian gue ke Italia, dan bahkan hampir setiap hari setelah gue tiba di negara pasta itu ada satu hal yang terus gue pikirin: gimana kalau gue meninggal di sana? Sendirian. Ga ada yang nemuin.
Sekarang, ketika tubuh gue terkapar di salah satu gang yang gelap di tengah kota Milan, gue baru sadar kalo hari itu datang sangat cepat.
Dulu gue pernah mikir, apa yang orang-orang pikirin ketika mereka akan mati?
Entah karena cuaca bulan Oktober yang semakin dingin atau karena memang tubuh gue memang mendingin secara perlahan bersamaan dengan paru-paru gue yang haus akan udara membuat tenggorokan gue mengeluarkan suara terengah yang panjang seakan-akan nyawa gue sedang merangkak keluar dari kerongkongan. Kala itu juga segala sesuatu datang secara bersamaan ke dalam pikiran gue, seperti tsunami memori yang tinggi dan tak segan menggulung dan melahap gue tanpa sisa.
Ingatan tentang gue yang merengek minta dibelikan Tamiya. Ingatan tentang gue nonton Digimon sama temen-temen gue dilanjutin dengan jingkrak-jingkrak dengerin lagu Peterpan di kamar temen gue. Ingatan tentang gue dan temen-temen gue yang ketawa terbahak-bahak sambil kerja kelompok. Ingatan gue waktu nembak adik kelas pas SMA. Kenapa ketika akan mati baru gue sadar kalau gue ga bener-bener penyendiri. Apa yang terjadi sama gue? Kenapa ketika gue kuliah semuanya berubah seakan gue orang yang berbeda?
Tangan gue yang lemas berusaha menggapai-gapai, entah apa. Apa ga ada seorang pun yang ngeliat gue sekarat? Karena napas gue hampir habis. Sementara memori-memori itu terus berputar seperti film tanpa suara, dan ketika memori tentang Ragil datang sambil tersenyum mengulurkan tangannya di Bukit Bintang, gue menatap langit tapi langit itu tak berbintang. Langit itu gelap. Semakin gelap. Kemudian gue ga bisa ngeliat apapun selain kegelapan.
Dan napas gue berhenti.
"Sudah berapa menit? Sudah epinefrin ke berapa yang diberikan?!" Gue bisa dengar suara seseorang secara samar. "Dia baru saja kembali tapi sekarang dia-"
Gelap lagi.
"Apakah kalian sudah mengetahui identitasnya? Kita harus hubungi sia-"
Gelap lagi.
"ROSC! ROSC! DIA SUDAH KEMBALI! SYUKURLAH! AKU PIKIR KITA AKAN KEHILA-"
Gelap lagi.
"Kamu siuman?" Tanya pria itu. Cahaya lampu yang terlalu terang membuat gue mengernyit. Kalo aja gue ga ngeliat wajah Luca yang samar-samar gue pasti mikir kalo gue udah mati karena ketika gue benar-benar membuka mata, ada Yesus yang tersalib tertempel tepat di langit-langit di atas kepala gue. "Kamu tau? Ini kali ketiga kita ketemu secara ga sengaja kaya gini, meskipun kali ini keadaannya sedikit menyedihkan. Tapi kalo bukan takdir apa lagi?"
"Apa yang terjadi?" gue berusaha ngomong. Badan gue sakit semua, terutama dada gue.
"Itu harusnya jadi pertanyaanku. Apa yang terjadi? Seseorang menemukan kamu disebuah gang tak jauh dari Vimodrone. Kalau saja mereka tak menemukanmu dan menelepon ambulans kamu mungkin sudah mati. Ketika mereka mendorong badanmu masuk, aku tak percaya apa yang aku lihat."
"Mungkin kamu benar, ini takdir."
"Jangan mencemooh. Cepat katakan apa yang terjadi, untung saja kamu dibawa ke rumah sakit ini karena mereka tak bisa mengenalimu. Polisi akan bicara denganmu nanti."
"Aku tak mau bicara dengan polisi."
"Kenapa?"
"Aku masih belum bisa bahasa italia." Luca natap gue sinis. "Dan aku malu menceritakan apa yang terjadi..." Dia bangkit dari tempat duduknya di pojok ruangan lalu duduk di sisi gue.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kintsukuroi
RomanceEmpat tahun lalu, Gema Bimana ditinggalkan oleh cinta pertamanya. Suatu hari dia mendapatkan sebuah pesan dari orang itu. Tanpa sapaan, tanpa menanyakan kabar, tanpa basa-basi, orang itu datang kembali seperti hujan yang tak sama sekali diramalkan...