......
'Beberapa hari setelah bapak meninggal, aku tak bisa menahan semuanya. Aku beritahu ibu bahwa aku seorang homosexual sambil menangis di kakinya. Kamu harus lihat wajah ibu yang ikut menangis dan terus menerus mengangguk dan mengatakan kalau ibu sayang Ragil. ibu sayang Ragil... Ibu hanya mau aku menikah dengan dia, karena setelah itu Ibu akan mati dengan tenang. Aku berjanji padanya bahwa aku akan berubah. Kalau kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan?
Kami semua sepakat untuk pindah agar aku bisa memulai lembaran baruku. Tapi nyatanya masa lalu tak bisa dihapus begitu saja. Aku tahu aku pecundang. Aku tahu kamu menunggu di depan rumahku berhari-hari. Pada akhirnya aku hanya bisa memutar balik, atau memutuskan untuk tak pergi sama sekali. Karena aku tau kalau kita bertemu, aku tak kan sanggup menghadapi kamu.' Kenangan itu kembali muncul, ketika aku pergi ke Padang hanya untuk menunggui rumahnya yang sudah kosong, sementara Ragil memandangiku dari jauh, entah dari mana.
Mulanya, semua berjalan sesuai rencana. Kami menjalani hidup kami seperti biasa dan perlahan-lahan aku mulai melupakan kamu meskipun tak bisa sepenuhnya. Aku menyibukkan diriku, aku menghindari hal-hal yang sekiranya akan membuatku kembali ke hal-hal semacam itu. Menghindari Bandung, menghindari reuni karena aku takut kamu akan datang. Aku tau kamu kuat, aku tau kamu bisa melupakan aku. Meskipun aku tidak bahagia sejak hari itu, hidupku baik-baik saja selama tiga tahun, tapi kemudian aku mendengar nama kamu dari seseorang. Aku mulai penasaran apakah kamu benar-benar baik-baik saja. Di mana kamu, apa yang sedang kamu lakukan, apakah kamu mengencani pria lain selain aku, mengingat sebelum bertemu aku kamu bukanlah... (Apa itu artinya ini salahku juga bahwa kamu sekarang ...)?
Aku mulai tak bisa tidur, aku mulai mencari, menelusuri setiap memori. Nama kamu menyadarkan aku bahwa selama ini aku hanya membohongi diriku sendiri.
Aku tau aku tak tau malu, tapi aku juga tau rasa yang aku rasakan ini adalah rindu... Rasa ini sampai ke titik di mana aku bisa merasakan sakit di dadaku...
Aku akui aku menyesal dan sekali lagi aku meminta maaf, meskipun aku tau maafku tak akan pernah cukup. Kalau-kalau aku masih menyita sedikit ruang di hati kamu, dan aku harap ruang itu masih ada, aku ingin bertemu. Setidaknya bicaralah padaku. Aku akan menunggu kamu.
Aku baru aja membaca pesan dari Ragil.
Lagi dan lagi.
Perasaanku campur aduk. Ada begitu perasaan yang sebelumnya tak pernah aku rasakan, seperti perasaan yang hilang jauh di negeri antah berantah, tiba-tiba datang menggulung diriku seperti air bah yang datang dari laut yang tenang. Untuk pertama kali dalam empat tahun, aku merasa kasihan, bukan pada siapapun, tetapi pada diriku sendiri. Kemudian dengan dada yang sangat sakit, mataku memanas dan aku mulai menangis. Menangis tetapi suaraku tertahan di kerongkongan. Menangis sambil ku pukul-pukul dadaku untuk mengurangi sakitnya.
Fuck
Fuck
Fuck
Fuck
Ku pukul-pukul dadaku lalu kasur, lalu apapun yang bisa ku pukul.
Aku menangis sampai air mataku kering, sampai gigi-gigiku ngilu dan bibirku kesemutan. Aku memeluk lutut, kemudian jatuh terbaring begitu saja, menatap ke atap seakan ada sesuatu yang hanya bisa dilihat olehku. Kesadarnku mulai timbul tenggelam, entah karena waktu yang memang sudah larut atau karena pikiranku sudah menghabiskan energi dalam tubuhku.
"Are you ready to talk?" Luca menggedor pintu. Suaranya terdengar begitu jauh sampai-sampai aku terdengar seperti bisikan. "Are you ready to talk?" Tanyanya lagi. Ketukannya membawa kesadaranku ke permukaan, dan kata-katanya kini terdengar begitu jelas. Suara Luca mengingatkanku kenapa aku berada di sini, di negara ini, kemudian ke hari itu, ke surat itu, dan dadaku sakit lagi, mataku basah lagi.
'"Apa kamu baik-baik saja?" Luca mengetuk pintu lagi, aku sudah berada disini hampir tiga jam lamanya. "Could you, please, at least eat your dinner? Its getting cold. Depan pintu ya, supaya kamu dapet enerji buat nangis lagi? Please?"
Luca berkata seakan aku menangis adalah hal yang biasa, padahal aku tak pernah menangis dihadapan siapapun, let alone depan dia.
"Hey, are you okay? Say something! I cant leave you all alone like that!"
"Its fine, aku ga ngerasa sendiri ko!" Aku berbohong.
"Orang-orang biasanya bilang gitu kalo mereka ga baik-baik aja. Kamu udah terbiasa sendiri, kamu ga ngerasa kalau kamu kesepian!"
Luca started to get on my nerves.
"KAMU GA NGERTI APA YANG AKU RASAIN!'" suaraku mulai naik, sepertinya aku bukan kesal padanya tapi pada fakta bahwa yang dia ucapkan itu benar. "HOW? HOW DO YOU KNOW THAT?!"
"I KNOW! I HAVE BEEN THERE! NOW OPEN THE FUCKING DOOR!" Aku belum pernah mendengar Luca meninggikan suaranya, aku bahkan belum pernah melihat dia marah. "Maaf, aku ga bermaksud berteriak... Aku tau ini bukan saatnya aku ikut campur..."
Aku bangkit, lalu membuka pintu kamar itu dengan keras.
"KALAU TAU GITU YA JANGAN IKUT CAMPUR!'
"This is ridiculous! Kamu mau aku pergi?"
"RIDICULOUS? ITS MY FEELINGS! DO YOU THINK MY FEELING IS RIDICULOUS?"
"KAMU TAU BUKAN ITU MAKSUD AKU! AKU TANYA BAIK-BAIK KARENA AKU CARE SAMA KAMU! IF YOU WANT ME TO LEAVE JUST SAY THE WORD!"
"YEA LEAVE ME ALONE! MAY BE THATS BETTER FOR THE BOTH OF US, LEAVE ME ALONE!"
"What is wrong with you? I was just trying to help!"
"WELL, DONT! NOBODY! AND I MEAN NOBODY ASKED YOU TO DO THAT! IM NOT ONE OF YOUR PATIENTS, I DO NOT NEED YOU TO FIX ME! I DO NOT NEED YOU, I NEVER DID!"
Luca masih berdiri di depan pintu kamarku, dengan baki berisi makan malam dan susu hangat ditangannya. Dia menatap wajahku dengan mata nanar penuh kekecewaan. Dia meletakkan yang dibawanya di atas meja.
"Kamu tau, kadang kamu bisa sangat menyebalkan, dan saat ini adalah salah satunya. Aku akan pergi sekarang karena aku ga mau ngucapin sesuatu yang bakal aku sesali. Don't worry I'm coming back because I love you! Eat your fucking dinner!"
Luca melangkah dan menyambar jaketnya dari kursi lalu pergi membanting pintu, meninggalkanku sendiri. Aku runtuh ke lantai dan menangis.
Apa yang telah aku katakan?
Apa yang telah aku lakukan?

KAMU SEDANG MEMBACA
Kintsukuroi
RomanceEmpat tahun lalu, Gema Bimana ditinggalkan oleh cinta pertamanya. Suatu hari dia mendapatkan sebuah pesan dari orang itu. Tanpa sapaan, tanpa menanyakan kabar, tanpa basa-basi, orang itu datang kembali seperti hujan yang tak sama sekali diramalkan...