Ketika aku kembali ke rumah, Gema sudah tidak ada. Telepon genggamnya tak aktif, aku sudah berlari ke sana kemari tapi tak membuahkan hasil. Aku merasa sangat bersalah. Kenapa aku begitu bodoh? Meninggalkannya disaat dia sangat membutuhkanku? Kenapa bisa aku mengkhianatinya? Padahal aku sudah berjanji apapun yang terjadi, aku akan berada di sisinya. Apakah kemarahanku karena perkataan Gema, atau karena aku takut kehilangannya karena kini Ragil telah kembali?
Beberapa hari berlalu, Gema masih tak bisa ditemukan. Sekolah bahasa sudah selesai, jadi aku meskipun aku ke kelasnya dia tak ada di sana. Bukannya membantu, Fede dan Nonna akan menelpon berkali-kali sehari menanyakan keberadaannya, dan ketika aku jawab aku belum menemukannya mereka berdua akan bergantian mengomeliku dengan isi ceramah yang sama, tentang kebodohanku meninggalkannya dan tentang aku yang pencemburu yang merusak segalanya, hal-hal yang bahkan sudah aku sadari tanpa mereka mengomeliku.
"Dia butuh waktu," ujar Nonna di hari keempat setelah Gema menghilang. Aku baru saja pulang dari shift yang melelahkan. "Kau berutang itu padanya setelah kelakuan memalukanmu itu. Ingat kau-"
"- seorang Carusso, dan seorang Carusso tidak meninggalkan siapapun di belakang. Kau harus belajar dari pengalamanmu sendiri' aku sudah hapal. Aku sendiri khawatir. Sekarang aku tak bisa melakukan apapun selain menunggu, aku harap dia tak melakukan hal bodoh..." Ketika aku sampai di depan pintu apartemenku dan hendak membuka kunci, pintu itu sudah tak terkunci. "Apakah aku bisa telpon nanti? Sepertinya dia sudah kembali." Aku tutup telpon itu tanpa memberi kesempatan pada Nonna untuk menjawab.
Ketika aku masuk, ia memunggungiku. Kujatuhkan tasku ke lantai, dan melihat punggungnya, merasakan kehadirannya membuatku lega, seakan batu yang selama ini menimpa dadaku telah terangkat. Ku lepas jaketku, dan kubiarkan jatuh ke lantai sambil aku berjalan perlahan kepadanya. Sebelum aku bisa berkata pada diriku untuk tetap tenang, aku berlari ke arahnya dan ku peluk Gema dari belakang, sangat erat sampai-sampai dalam sesaat aku khawatir aku menyakitinya. Ku kecup kuduknya, ku hirup aroma tubuhnya meresapi dan memastikan raga yang kupeluk itu nyata.
Dadaku perih, aku merindukannya.
Ketika dia berbalik dan tersenyum, aku tak sanggup membendung air mataku. Aku dekap dia sekali lagi.
"Hey, what did you do to Luca?"
Aku terkekeh, air mataku masih mengalir. Setelah aku mengusap mataku, wajahnya menjadi begitu jelas. Wajahnya dipenuhi oleh luka.
"Apa ini semua???" Aku menyentuh luka-lukanya dengan lembut. Dia meringis.
Aku berlari ke kamar dan mengambil kotak P3K, kemudian mengobati luka-lukanya.
"Aku berantem tipis-tipis. I met this homophobic yang ga mau berhenti gangguin orang."
Aku menatap matanya. Gema ada dihadapanku, tapi aku tau dia tidak bersamaku.
"Aku baru aja kasih tau Nonna kalau aku khawatir kamu ngelakuin yang aneh-aneh!"
"Aku ga sedang nyoba buat jadi pacar atau temen kamu sekarang, i'm used to you being stupid but this is beyond my comprehension." Aku sengaja memencet lebam di sudut bibirnya.
"Awww!"
"That's for messing with me!"
Ada kesunyian yang turun dari atap selama beberapa saat. Aku menatapi wajahnya, dia memandang ke luar jendela. Ada semacam tabir yang tak bisa ku jelaskan, tabir yang belum pernah ada sebelumnya.
He seems... distant.
"You know all these years I cant feel nothing but numb," katanya tiba-tiba. "I wanna feel something..." Gema tetap memandang entah ke mana, menghindari mataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kintsukuroi
RomanceEmpat tahun lalu, Gema Bimana ditinggalkan oleh cinta pertamanya. Suatu hari dia mendapatkan sebuah pesan dari orang itu. Tanpa sapaan, tanpa menanyakan kabar, tanpa basa-basi, orang itu datang kembali seperti hujan yang tak sama sekali diramalkan...