57. Rupa Pengecoh

173 25 4
                                    

Terhampar di sepanjang jalan utama yang ditutup untuk kendaraan, festival kala itu dipenuhi berbagai stan dan dekorasi yang meriah. Para penjual sibuk menawarkan camilan-camilan khas: jagung karamel berwarna cerah, donat labu dengan taburan gula, atau permen manis bertangkai. Aroma makanan yang dipanggang pun sukses menggoda banyak pengunjung. Di samping itu, ada juga stan yang menjual kostum dan aksesoris seperti topi penyihir, topeng hantu, dan jubah yang berkilauan. Perayaan Halloween menjadi acara yang ditunggu-tunggu bagi sebagian kalangan muda maupun tua.

Salah satu yang menikmati kegembiraan malam itu adalah Min Yoongi. Pemuda berusia dua puluh tahun tersebut asyik menyusuri festival yang berada tak jauh dari rumahnya. Setelah menunggu Jungkook, teman yang tak kunjung datang lebih dari setengah jam lamanya, ia merasa bosan dan mulai mencari cara untuk menghabiskan waktu. Maka, tercetuslah ingin berinteraksi dengan orang sekitar.

Pandangan Yoongi tertarik kepada si rambut merah terang dengan sayap lebar yang terlihat sangat kokoh, duduk sendirian di balkon sebuah rumah. Wajahnya murung. Ia tampak begitu terasingkan di tengah keramaian.

"Hai, Kepala Merah!"

Panggilan itu membuat sosok di sana terkejut. Kentara sekali ia kesulitan mengatur ekspresinya. Apa ia baru saja disapa seseorang?

"Kau menunggu sesuatu? Aku juga sedang menunggu temanku yang terjebak macet di persimpangan depan," Yoongi menambahkan. Mendapati reaksi pemuda itu melongo menatapnya, ia bersemangat melanjutkan, "Daripada duduk sendiri, kau mau bergabung denganku? Aku punya jagung yang tadinya untuk temanku, tapi ... ya sudah, lupakan saja dia."

Ajakan Yoongi terdengar tulus. Tanpa pandang bulu seakan-akan menawarkan sebuah perkenalan. Sosok yang sedari tadi diam memperhatikan akhirnya tersenyum. Dengan gerakan gesit seringan kapas ia melompat dari balkon begitu mudah. Meski baru saja melompati ketinggian empat meter, ia mendarat mulus satu langkah dari tempat Yoongi berdiri.

"Wow! Bagaimana kau melakukannya?"

Ia mengedik, mengabaikan lawan bicaranya yang terkaget-kaget. "Banyak latihan."

"Oh, oke." Yoongi mengangguk-angguk saja meski belum mengerti. Dalam hati menebak asal kalau si rambut merah merupakan anggota sirkus. Lamunan Yoongi terpecah ketika salah satu jagung bakar dicomot dari tangannya.

"Manis," pujinya kendati tidak pada maksud yang sebenarnya. Ia memandangi paras Yoongi tanpa berkedip. Camilan yang dipegang bahkan belum ia cicipi.

"Ini rasanya asin pedas. Aku sempat memakan bagian yang pahit, sepertinya gosong."

Ia terlihat tidak peduli, sekadar berdehem sebagai balasan. Langkah kakinya refleks mengikuti Yoongi berjalan. Menempatkan diri bersebelahan sambil menggigit-gigit jagung bakar, sesekali ia mencuri tatap ke samping. Ini satu pengalaman yang menarik.

"Namamu siapa?"

"Jimin."

Yoongi membulatkan mulut. Sekilas perhatiannya tertuju pada panggung yang didekorasi jaring laba-laba besar dan patung-patung tengkorak. Panggung itu menampilkan berbagai penampilan musik dan pertunjukan tari yang enerjik. Tanpa sadar ia berjalan mendekat ke sana.

"Kau belum menyebutkan namamu."

Menoleh terkejut, Yoongi nyaris melepas jagung dari genggaman saat telinganya menangkap bisikan. Pelan, tetapi menggema dalam kepala. Ia sempat menganga memandang Jimin dari jarak kurang dari satu meter. Tampan juga, ya. "Yoongi," katanya. Terburu-buru memalingkan muka, ia mendengkus keras membatin jika senyum milik Jimin berbahaya. Ia mendadak dibuat berdebar.

"Kau suka penampilan mereka?" Kali ini Jimin bertanya. Setelah menyadari pemuda berkostum oranye dengan kumis palsu di kedua pipi tampak antusias sekali menonton pertunjukan.

"Iya!" Yoongi tertawa kecil. Gusi merah mudanya terlihat. Teringat satu hal ia beringsut mendekat untuk memberi informasi yang menurutnya semacam rahasia. "Kau tahu, Jim, katanya, makhluk-makhluk di sini tidak sepenuhnya palsu. Ada yang asli dan menyamar seolah mereka adalah manusia. Itu menyeramkan."

Sontak Jimin tergelak. Ia menepuk-nepuk puncak kepala Yoongi sambil berujar, "Mereka tidak jahat, kok, apalagi kalau kau anak baik."

"Oh ya? Lalu apa yang mereka lakukan?"

"Hm, sesuatu yang tidak seharusnya diketahui manusia."

"Ey, kau mengatakannya seolah kau bagian dari mereka saja."

Jimin terdiam. Memiringkan kepala hendak mengucapkan sesuatu, tetapi diurungkan dan memilih menyeka saus di sudut bibir Yoongi atas bentuk inisiatif. Hal tersebut menjadikan empunya tersipu-sipu malu karena merasa diperhatikan.

"Yoongi."

"Ya?"

"Kau harus bertanggung jawab."

Yoongi mengerutkan dahi, mencari jawaban di mata yang bersinar penuh minat mendalam. Sayangnya, Jimin tidak memberikan balasan yang diinginkan. Abai pada kebingungannya.

Setelah malam festival, keduanya berpisah dengan cara yang menyenangkan. Mereka berbicara santai, menikmati momen kebersamaan tanpa mengetahui bahwa malam itu akan menjadi yang terakhir bagi Yoongi dalam kehidupan yang dia kenal. Saling berpamitan, menganggap satu sama lain sebagai kenalan dari pertemuan tak sengaja, dan melanjutkan kehidupan masing-masing.

Namun, keesokan malam, ketika lampu-lampu penerang menggantikan sang surya yang meredup bersama langkah ringan dan hati-hati, satu sosok menyelinap masuk melalui jendela terbuka. Ia mengamati pemuda yang terlelap di ranjang, wajahnya tampak damai di bawah cahaya rembulan. Jimin mendekat ke tepi ranjang, memandang Yoongi cukup lama.

Tanpa diminta Jimin membisikkan beberapa bait yang menarik seluruh kesadaran Yoongi hingga semakin terlelap dalam tidur. "Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja. Bersamaku, ya?"

Lantas, pada lintang masa yang sulit ditebak, Yoongi terbangun. Ia merasa berada di tempat asing. Melihat Jimin berdiri di sampingnya seakan ada yang aneh sekaligus menenangkan tentang kehadiran sosok itu. Bagaimana tangannya digenggam lembut memberikan rasa aman yang tidak pernah dirasakan Yoongi sebelumnya.

Jimin tersenyum, memastikan seseorang dalam kuasanya merasa nyaman. "Tidak apa-apa," ucapnya begitu rendah. "Aku di sini."

Di tengah keheranannya, Yoongi mendadak yakin tidak ada alasan untuk menolak. Lambat laun justru menetapkan bahwa ia takkan bisa melakukan apa-apa selain mengikuti dan mempercayai pemuda itu.

Seiring tatapan keduanya yang tak terputus, Jimin membuka ujung ibu jarinya dan melukai dirinya sedikit. Ia kembali menautkan genggaman mereka, membiarkan tetesan darah menempel pada kulit Yoongi. Ini adalah bagian dari ritual kuno yang digunakan untuk mengikat jiwa seseorang kepadanya secara sepihak.

Yoongi masih dalam keadaan membatu sekalipun kesadarannya sudah terjaga seperti sedia kala. Rasa asing yang kelewat hangat menciptakan ikatan yang tak terlihat, tetapi kuat. Pada malam itu, keduanya melebur saat keheningan mengikat tak terpisahkan.

Suasana sekitar bak memudar dengan cepat. Beku. Bisu. Dunia manusia terlalu banyak hal fana. Pagi berikutnya, Jungkook sebagai orang pertama yang mendatangi rumah Yoongi. Mengetuk pintu berkali-kali tanpa mendapat jawab, ia menerobos paksa setelah mendapat firasat tidak enak. Apa yang ditemukan berhasil meremukkan jantung siapa saja bagi yang melihatnya.

Di sana, Yoongi tampak damai dan tersenyum seolah sedang tertidur dengan lelap yang abadi. Senyum itu persis tanda ketenangan terakhir, mengisyaratkan bahkan pemuda tersebut sudah sepenuhnya meninggalkan dunia.

...

"Bisa aku membawanya?"

"Untuk yang satu itu ... dia berumur panjang. Kau harus menunggu 70 tahun lagi, Tuan."

"Siapa yang ingin menunggu?" Jimin masih tersenyum. Begitu hangat dan ramah, tetapi lawan bicaranya langsung mati kutu seolah ia baru saja memecah peperangan. "Mencabut satu nyawa bukan masalah, bukan? Terlebih kau bisa diandalkan untuk mengarang dan memberikan alasan itu kepada Hades."

"Ten-tentu saja."

About Us [MINYOON] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang