16. Dini Hari.

585 74 5
                                    

Beberapa artikel pernah menyatakan dipukul 3 dini hari, biasanya orang akan mengatakan hal yang sebenarnya. Percakapan terbaik, absolut bahkan romansa sering ditemukan di jam tersebut.

Maka di mana Jimin mengucap kalimat bermakna mengakhiri hubungan, Yoongi tidak bisa menyangkal apapun. Pada dasarnya ia memang tidak punya hak mengatur hidup seseorang. Tidak bisa meminta untuk tetap mencinta.

Kerongkongannya mendadak kering. Meneguk ludah terasa perih. Percikan rasa sakit merayap ke relung paling dalam. Dinginnya angin malam menyentuh kulit pipi sebab jendela dibuka dengan sengaja. Yoongi menyandarkan punggungnya yang kaku. Melirik ke sekitar ruangan. Apartemen kecil yang sudah di tempati hampir 4 tahun bersama Jimin. Memutuskan tinggal bersama sejak awal berpacaran, menjadikan tempat ini penuh cerita. Suka maupun lara.

Jimin menoleh sekilas pada pria yang duduk di sofa tepat sampingnya. Bergumul selimut tebal sembari menatap keluar jendela. Keinginan untuk merengkuh rupanya bukan sesuatu yang baik. Di mana ia tengah menabur duri yang kesekian kalinya.

"Aku sadar ini salah tapi menahan semua lebih lama, nampak akan semakin menyulitkan."

Helaan nafas panjang Yoongi hembuskan. Kepalanya penuh dengan banyak pikiran. Entah itu pekerjaan, keluarga, teman-temannya atau mungkin tentang Park Jimin. Terlalu pasif membuatnya sulit mengekspresikan sesuatu tapi bagaimanapun ia tetap merasakan yang sesungguhnya.

"Besok siang, akan ku bawa semua barang-barangku. Dan apartemen ini sejak awal memang ku beli untukmu. Kau bisa menempatinya."

"Kau akan meninggalkanku?"

Atensi keduanya bertemu. Jimin dihantam bongkahan pilu saat menatap bola mata Yoongi. Kesedihan ada di sana. Mengorek sendu menyadari ia yang jahat selama ini.

"Siapa namanya?" Ujar Yoongi lagi. Merubah posisi duduk agak miring. Menatap Jimin sepenuhnya.

"Siapa?"

"Kekasihmu yang lain."

Sindiran sarkas yang tepat sasaran. Yoongi terlalu tenang untuk ukuran pria yang dihianati dua tahun lamanya. Bungkam seribu bahasa. Sengaja menyakiti diri sendiri. Bukan tanpa alasan, ia takut benar-benar kehilangan.

Jimin tidak menjawab, membiarkan kalimat tadi mengambang. Yoongi menahan diri agar tidak memukul wajah atau mematahkan hidung pria yang kini memandangnya iba. Benci sekali akan tatapan itu.

"Aku takut akan menyakitimu lebih dari ini, Yoon."

"Lucunya, selama ini kau sudah lebih dari sekadar menyakitiku, Jimin."

Yoongi menjeda. Memantapkan satu kalimat menusuk.

"Kau menghancurkanku."

"Yoon--"

"Aku butuh istirahat."

Jimin mengerti. Ia tidak bisa berdiam diri lebih lama jika hanya untuk menaburkan luka. Mengusap punggung tangan Yoongi sebagai yang terakhir kalinya sebelum angkat kaki dari sana.

Gumaman maaf serta suara pintu tertutup rapat merobohkan pertahanan Yoongi. Tangisnya luruh. Terisak pedih. Membiarkan langit dini hari menyaksikan dirinya tergugu kesakitan. Kekasihnya pergi. Meninggalkan ia sendiri. Meninggalkan hati dan kepercayaan yang koyak. Meninggalkan berjuta suka yang masih tertinggal di kepala namun harus ia hilangkan secara paksa.

Meleburkan segala harapan tentang masa depan. Rangkaian mimpi indah untuk dijadikan realita nyatanya hanya sebatas angan-angan. Derasnya air mata, tersenguknya suara sekilas menandakan separuhnya sudah terasa mati.

About Us [MINYOON] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang