45. Penyakit

408 42 12
                                    

"Yoongi tidak datang hari ini?"

Pertanyaan Jimin dibalas gelengan oleh si gadis frontliner—Lee Jian—sekaligus memberikan penjelasan apa yang Yoongi katakan saat menghubunginya tadi pagi. Tidak menyebutkan alasan khusus dan Jian tidak juga ingin mengorek informasi lebih dalam. Dipikirnya owner tempatnya bekerja memang memiliki hal penting lain yang tidak bisa dilewatkan. 

Melihat Jimin mengerutkan kening dan terlihat tidak suka atas penjelasannya, Jian ketar ketir. Mungkin tidak mendapat jawaban yang diinginkan mengapa suaminya yang setiap hari datang ke butik, kini melewatkannya begitu saja. Bahkan Jimin tidak mendapat satu panggilan atau pesan atas alasan tersebut. 

Sebetulnya pria itu tidak masalah jika Yoongi memutuskan tidak ingin bekerja lagi. Toh, bisa menyuruh orang lain agar mengurus butik yang telah dikelola Yoongi hampir sepuluh tahun lamanya. Terlebih Jimin terlampau bergelimang harta. Pengusaha sukses di usia muda. Ditambah sokongan latar belakang keluarga konglomerat. Tidak perlu susah mencari uang, tentu akan ia berikan. Berapa pun. Menjunjung tinggi Yoongi di atas segalanya, menjadikan prioritas membuatnya tanpa ragu memberikan apa saja.

Ada sekilat emosi pada bola mata milik Jimin. Ia menempelkan ponsel di telinga, menunggu seseorang mengangkat panggilannya. Kelima kalinya Jimin hanya mendapati suara yang berputar otomatis ketika panggilannya tidak terjawab. Entah apa yang sedang Yoongi lakukan sekarang, tetapi berhasil membuatnya kesal.

Lantas Jimin memasukkan ponsel ke kantung celana dan beranjak pergi di sana. Ia pun meninggikan suara saat menyuruh supir mempercepat laju mobil agar segera sampai ke rumah. Sebenarnya Jimin sengaja datang ke tempat itu di saat pekerjaannya selesai lebih cepat. Sebuah makan malam romantis bersama Yoongi kedengaran menarik. Diingat-ingat sudah cukup lama terakhir kali mereka melakukannya. Namun, menyadari Yoongi tidak ada di tempat yang biasanya dijadikan penghabis waktu dalam keseharian, tampaknya menyulutkan amarah Jimin. Ditambah banyak panggilan dan pesan yang tidak dijawab sampai saat ini. 

"Yoongi!" 

Teriakan Jimin menggelegar saat kaki menjejak di kediamannya. Ia melangkah cepat ke lantai dua sembari mengendurkan ikatan dasi pada kemeja. Raut wajah tidak bersahabat membuat beberapa pelayan di sana hanya memperhatikan dari jauh. Mereka mendadak was-was karena sang majikan terlihat dalam mood yang buruk.

Pada satu kamar yang pintunya terbuka, Jimin berhenti seketika. Pria itu mendapati presensi manusia yang baru berusia tujuh bulan; menatap begitu antusias selagi berdiri sembari memegangi sisi playpen—pengaman ranjang tidur yang berbentuk boks—menahan tubuhnya agar tidak limbung. Jimin memilih mendekati. Seorang wanita yang juga berada di ruangan tersebut yang mana tengah membereskan beberapa pakaian bayi segera bergerak menghampiri dan berdiri tidak jauh dari Jimin. 

"Halo, Koo?" 

Cengiran lebar tanpa gigi. Gusi merah muda sangat kontras ditambah balutan pakaian berwarna maroon di kulitnya yang terlalu putih. Bulatan padat di kedua pipi. Binar pada netra seolah taburan bintang ada di dalamnya. Perpaduan antara Jimin dan Yoongi ada di sana. Itu terlihat dengan jelas. 

Jimin mencondongkan wajah untuk mencubit pelan ujung hidung Jungkook. Ia tergelak sesaat ketika anaknya merengut sembari menutup rapat matanya. Lucu. Tidak sadar hatinya menghangat. Luapan emosi yang tumpah perlahan surut seketika. Perasaan ingin menjaga sepenuhnya dan memastikan tidak ingin melukai, terasa berdesir saat pandangannya tertuju pada bocah yang masih menatapnya antusias. Suara tawa, tangis, atau ocehan-ocehan khas bayi yang tidak dimengerti memenuhi kurang dari satu tahun belakangan ini. Jimin akui menikahi seseorang yang dicinta kemudian memiliki darah dagingnya yang tumbuh sehat, merupakan hal yang paling membahagiakan semasa hidupnya. Sempurna. 

About Us [MINYOON] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang