23. Lelucon Awal April.

628 70 11
                                    

Yoongi melirik tidak minat saat menggulirkan jari di layar ponsel. Notifikasi bermunculan memenuhi baris panel. Isinya masih sama dari setengah jam yang lalu. Terhitung sudah delapan belas panggilan tidak terjawab yang sengaja Yoongi abaikan. Sebuah pesan masuk, menarik perhatiannya.

[Angkat teleponnya. Penting.]

Mendengkus sekilas, Yoongi memilih menggeser tombol berwarna hijau yang kembali terlihat. Menempelkan benda pipih tersebut ke telinga kanannya sembari menarik paksa sudut bibir.

"Ya, Jimin?"

"Aku menghubungi dari tadi, Yoon."

"Maaf ... Aku lupa menyalakan mode dering."

"Kau di mana?"

"Rumah temanku. Mengantar berkas projek. Sebentar lagi aku akan pulang."

"Temanmu yang mana?"

"Seokjin. Kim Seokjin."

"Hmm."

"Sudah ya? Nanti kuhubungi."

Yoongi tidak menunggu balasan dari seberang sana, ia mematikan panggilan secara sepihak. Lagi-lagi mendengus geli. Pandangannya teralihkan, bertopang dagu di teralis balkon sambil memperhatikan jalan besar yang dilalui banyak kendaraan. Sepasang lengan menyambar pinggangnya, membuat Yoongi semakin bungkuk sebab beban menimpa bahunya.

"Aku cemburu, lho."

Agak berjengit ketika lehernya disapu napas yang menggelitik. Pelukan terasa mengerat. Yoongi menoleh susah payah untuk meraih sebelah rahang pria di belakangnya. Kecupan ringan berhasil dibubuhkan ke pipi sebelah kanan.

"Kalau bukan karena Ayahku menginginkan perusahaan itu, aku tidak akan melakukan ini."

Dibalas tergelak tawa. Ucapan tadi seolah lucu baginya. Menaruh dagu di atas puncak kepala, ia juga mengusap-usap lembut perut Yoongi dari luar baju. "Beruntungnya, aku sabar menunggumu."

Baru saja Yoongi ingin menyahut, tapi yang ada ia malah mendelik sebal. Lengan yang melingkar di perutnya dicubit kencang.

"Berhenti menggesekkan penismu ke bokongku, Namjoon!"

.

.

.

.

Di sisi lain, di balkon yang berbeda. Jimin menyesap sebatang tembakau yang terampit di sela jari tengah dan jari telunjuknya. Menghembuskan kepulan asap ke udara sebelum tertawa getir.  Ada helaan napas berat saat memandangi langit sore kala itu.

Sambungan telepon sudah dimatikan meski tanpa persetujuannya beberapa menit lalu. Sejujurnya Jimin belum merasa puas. Dua sampai tiga pertanyaan masih berputar di kepalanya.

Mematikan ujung rokok yang terbakar ke sudut tembok, tidak peduli kotor ikut menghiasi putih di sana lalu membuangnya ke sembarang arah. Jimin menutup pintu yang menuju balkon dari dalam, angin musim dingin cukup kencang, ia agak menggigil.

Jimin merebahkan tubuhnya di atas kasur. Menatap langit-langit sambil berpikir. "Seokjin yang kau maksud itu ... yang mana?"

Ia tertawa lagi. Lebih lirih dari sebelumnya. Entah menertawakan dirinya sendiri atau keadaan, di mana Jimin yakin ia tengah berada di lingkaran setan.

Tubuhnya dimiringkan dengan kepala ditopang satu tangan. Menatap entitas pria yang tertidur pulas membelakangi. Punggung yang Jimin lihat saat ini dihiasi bercak merah dan bekas gigitan cukup dalam. Buas sekali ia siang hari tadi. Melampiaskan segala kegilaan dengan meraup nikmat dalam-dalam. Tidak apa-apa. Pada dasarnya mereka sama.

"Karena Seokjin yang aku tahu, kini sedang bersamaku, Yoon."

About Us [MINYOON] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang