30. Sandwich 🔞

1.8K 99 3
                                    

Hitam di atas putih sebagai perjanjian gila yang disepakati empat bulan lalu. Seharusnya begitu, tanpa ada embel-embel merepotkan di mana keraguan ikut terseret.

Lelehan hangat bercampur anyir membasahi perut untuk kedua kalinya. Park Jimin terkekeh pelan, memandangi kejantanan yang berkedut merah setelah mendapati puncak kelegaan. Namun, alih-alih membantu ia malah menutup lubang kencing dan menghantarkan sensasi tak nyaman yang dirasakan si pemilik.

"J-jimin, lepas—ah!"

Yoongi butuh waktu. Ia baru saja menggapai putih. Perih di titik pusatnya menggerus kesadaran. Tidak sampai di sana, perutnya mengejang kuat saat hentakkan di bokong memelan. Benda yang telah mengisi dirinya dari satu jam yang lalu bergerak keluar, tidak sepenuhnya meninggalkan karena sodokkan tumpul kembali terasa. Kali ini temponya sangat pelan seolah sengaja menggaruk main-main dinding analnya.

"Kau suka yang seperti ini, 'kan?" Si pelaku menekan pundak Yoongi. Menatap remeh di saat miliknya timbul dan tenggelam, dilahap habis oleh lubang kelaparan yang terlihat dipaksakan melebar karena sengaja dijejali.

Suka atau tidak itu hanya sekadar ucapan. Yoongi jelas tahu apa yang tubuhnya butuhkan. "Cepath—lagi ... "

"Jangan dirapatkan ... Brengsek!"

Makian di ujung geraman. Cengkeramannya menguat pada leher dan tangan satunya lagi menguleni kasar bongkahan pantat. Pinggul masih bergerak maju mundur, lebih cepat dari sebelumnya.

Yoongi menggigit bibir bawahnya sendiri, membuat lirihan tertahan seiring tubuhnya yang terlonjak. Kedua matanya terpejam rapat, hantaran pelepasan beberapa menit lalu belum sepenuhnya ia nikmati, dan kini ia perlu menyesuaikan lagi. Sejujurnya gila, tetapi luar biasa.

"Mmhh—"

Usapan terlampau lembut perlahan membuat kelopak matanya kembali terbuka. Menemukan senyuman menyambut dirinya. Yoongi meneguk ludah. Tampan. Cukup mengalihkan perhatiannya.

Jimin menangkup hati-hati wajah di depannya, memberikan afeksi menenangkan kala serbuan panas dari nafsu yang berkobar. Kendati demikian, apa yang dilihatnya saat ini kelewat erotis. Pemandangan yang mampu mengeringkan kerongkongan di mana Yoongi terlungkup di atas tubuhnya; telanjang, kesusahan mengatur napas, wajah keenakan yang memerah, bibir kebas habis dicumbui, daerah selangka dipenuhi ruam pekat, juga desahan di antara nikmat dan lara, cantik ... cantik sekali.

Meskipun netranya mengagumi, tak hayal sekelumit sakit di dadanya tetap terasa. Pandangannya berkabut sendu, realita menyadarkan; Yoongi tengah disetubuhi habis-habisan oleh saudara kembarnya, Park Jihyun, tepat di hadapannya langsung.

Tidak asing lagi. Bahkan terlampau sering hingga ia lupa akan hitungan. Mereka menikmati, mengecap candu masing-masing, mengagungkan gairah demi kepuasan semata.

"Kau banyak diam ... tidak sabar menunggu giliranmu?" Jihyun menyadari perubahan raut muka saudaranya. Ada gelak tawa setelahnya. "Masukkan saja."

Double penetration, Sialan!

Jimin ingat terakhir mereka melakukannya, Yoongi mengerang keras. Analnya hampir sobek. Tangis menderu karena kesakitan cukup menjadikan ia mengurungkan niatnya. Tidak akan lagi. Tanpa membalas sahutan, Jimin memilih memberikan lumatan lembut di bibir bawah entitas yang berbaring tak berdaya di atas tubuhnya dan tetap membiarkan pria itu ditunggangi Jihyun.

Sapuan halus tangannya di punggung dan leher Yoongi berharap bisa memanjakan barang sejenak. Telapaknya merasakan kulit yang meremang sampai ciuman bertaut liar; saling membelit lidah, menjelajah rongga mulut dan sesekali menggigit gemas.

"Anhh—J-jimin ... "

"Di sini, Yoongi." Jimin mengecup pipinya sekali sembari memegangi tubuh yang terhentak bebas, lalu kembali berbisik, "Aku di sini."

Bulir-bulir peluh sebesar biji jagung terlihat membanjiri kening. Rona wajah lebih merah dari sebelumnya. Helaian surai berantakan, sebagian lepek oleh keringat. Saluran pernapasannya sengaja ditahan atau mungkin terpaksa dilakukan dan digantikan lenguhan.

"Ah, ah—"

Jimin meraba rahang Yoongi yang mana pria tersebut tengah kesusahan meraup oksigen. Kain kemejanya dicengkeram sebagai pelampiasan. Iris keduanya bertemu, mampu menjadikan Jimin dilecut ngilu.

"Ah! S-sakit! ... t-tunggu!"

Ini di luar batasnya. Yoongi kepayahan mengejang seiring perih menjalar di bagian anal. Terlalu cepat. Kasar. Begitu tangan lain menjulur dan hendak menarik segenggam rambutnya, Jimin lebih dulu menahan bersamaan percikan sengit di bola mata.

"Kau menyakitinya, Jihyun."

Yang diberi peringatan hanya membalas tatapan angkuh. Gerakan pinggulnya tidak melamban malah semakin cepat. Menghentak serampangan seolah ingin mengoyak mati-matian Ada tarikan di sudut bibir yang melontarkan remeh.

"Lantas, kau kasihan pada mainanmu, Jimin?"

Pertanyaan dibiarkan mengambang selagi Jihyun menyelesaikan kegiatannya. Tiga sodokan terakhir mampu membuat cairan mani keluar deras, membasahi liang sempit yang sedari tadi ia masuki. Begitu muatannya terasa habis, Jihyun mengeluarkan miliknya tergesa-gesa. Rengekan bernada pilu sengaja diabaikan. Ia membersihkan kotor di tubuhnya sendiri lalu menarik resleting celana dan angkat kaki dari sana, meninggalkan dua orang di atas ranjang.

Jimin memandangi langit-langit kamarnya beberapa menit kemudian sembari merengkuh erat satu sosok. Ia melirik ketika mendengar helaan napas yang kembali normal. Setelahnya melepas dekapan dan memosisikan Yoongi untuk berbaring nyaman agar bisa melanjutkan tidurnya.

Ia segera bangkit, mengambil handuk yang sudah dibasahkan dengan air hangat dan mengelap seluruh tubuh Yoongi hati-hati, seolah bisa saja pecah kalau ia sembarangan. Diakhiri menyelimutinya hingga sebatas dada.

Pukul lima sore hari, langit semakin beranjak ke peristirahatannya. Di sana, Yoongi mengerjap terbangun. Terburu-buru memperhatikan sekitar dan ia menemukan Jimin duduk di sofa tunggal dengan buku di tangannya. Kondisi kamar sudah terang benderang karena semua lampu dinyalakan. Melihat tumpukan pakaian miliknya berada di meja, ia perlahan beranjak untuk mendekat.

"Kau bisa istirahat lebih lama, akan kubangunkan kalau sudah malam."

Jimin memberitahu, tetapi Yoongi hanya mengacungkan ibu jari seakan-akan dirinya baik-baik saja. Padahal nyeri di selangkangan semakin terasa ketika ia melangkahkan kaki.

"Bagaimana keadaan ibumu?" tanya Jimin. Ucapannya menghentikan Yoongi yang hendak mengancing kemeja. 

"Operasinya berhasil." Senyum lebar terbit di wajah Yoongi. Kedua maniknya dibuat menyipit. "Ya ... meskipun masih lama membuatnya sembuh total."

Hal tersebut membuat Jimin ikut tersenyum. Ia berdiri dari sofa, mendekati Yoongi sekadar menyentuh pipinya hingga pria itu menoleh. "Kau bisa menghentikannya kalau kau mau."

"Maksudmu?"

"Perjanjian itu."

Lengkungan di bibirnya hilang. Yoongi menaikkan alisnya dan memalingkan wajah. Kesepakatan yang disetujui bukan sebatas tubuhnya ditukar dengan uang.

"Yoon—"

"Park Jihyun, saudaramu." Yoongi menukas cepat, sejumput rasa malu tercampur di ekspresinya. "Hanya dia. Tidak ada yang lain."

Sekalipun jawabannya tetap sama hingga  telinganya bosan mendengar, Jimin menyunggingkan senyum—terpaksa. "Baiklah. Setidaknya biarkan aku mengantarmu pulang."

Begitu lebih baik, menelan getir sendirian. Meraung dalam hati di saat ia tertolak kesekian kalinya. 

About Us [MINYOON] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang