56. Penantang Maut

165 22 4
                                    

Kabut tipis menyelimuti permukaan danau, bergerak perlahan seperti usapan halus yang mengaburkan batas antara air dan daratan. Udara terasa semakin dingin. Aroma lembab menusuk hidung. Seluruh lokasi dipenuhi aura magis sehingga membuat suasana seperti dunia yang terputus dari kenyataan

Lantas, di sana pula tepat di tepi danau, para penjelajah pemberani berdiri terengah-engah. Tubuh mereka basah kuyup serta kotor dari pertarungan sengit dengan penghuni danau. 

Jimin, pemuda Park dengan pakaian tempur yang robek, wajah penuh luka, mencoba menarik napas dalam-dalam sambil menggenggam erat pedangnya. Beban dunia seakan tengah menghimpit membuat langkahnya berat.

Pada sisi lain, Yoongi bersama busur yang terlihat letih di tangannya, panah-panah yang hampir habis, tetapi masih berusaha menjaga fokus. Sementara kabut dingin gencar menghalangi jarak pandang.

Di sekitar mereka, bayangan dari penghuni danau—pria-pria dan wanita yang telah menjadi prajurit bayangan—terus berkeliaran dengan tatapan kosong, siap menyerang kapan saja. Lambat laun kabut yang menyelimuti area seolah mencoba menelan semua harapan mereka, dan suara gemericik air serta desisan angin menjadi saksi bisu dari pertarungan yang mereka hadapi.

Keputusasaan menggantung di udara. Jimin maupun Yoongi tahu bahwa mereka harus bertahan. Dengan sisa-sisa kekuatan, bertekad untuk mengalahkan musuh yang mengancam dan mengembalikan kedamaian ke tempat yang telah lama diliputi kegelapan. 

"Pulanglah. Tolong sampaikan pesan untuk keluargaku." 

Yoongi melirik. Ia kesulitan mencerna kalimat barusan."Apa yang kau katakan?"

"Salah satu dari kita harus ada yang kembali dalam keadaan hidup," sahut Jimin. Pemuda tersebut menyunggingkan seringai. "Sisanya kau bisa percayakan kepadaku." 

"Jangan bercanda. Kita berdua yang akan menyelesaikan ini." 

"Yoon, dengar—"

Ucapan Jimin terhenti saat Yoongi mengarahkan anak panah tepat ke dahinya. Tanpa keraguan sama sekali. Barangkali memang berniat melubangi kepalanya kalau-kalau ia tidak segera tutup mulut.

"Kita berdua atau tidak sama sekali," ucap Yoongi penuh penekanan. 

"Kau keras kepala." 

"Aku belajar darimu."

Maka Jimin mengangkat satu tangan, tanda menyerah. Ia yakin perdebatan mereka takkan selesai jika tidak ada yang mengalah. Dalam sepersekon yang singkat, ia tiba-tiba melompat ke batu-batuan licin yang tersebar di sekitar danau, menjejakkan kakinya dengan cekatan di antara akar pohon yang mencuat dari tanah. Batu-batu itu berlumut, dan kabut tebal menambah tantangan saat Jimin bergerak cepat. Ia berteriak sambil berlari, "Yoongi! Lindungi aku dari belakang!"

Belum hilang keterkejutannya karena tingkah laku pemuda Park yang sulit diprediksi, Yoongi memegang busur dan panahnya begitu tegas. Gesit mengambil posisi strategis di belakang Jimin, matanya awas meneliti setiap gerakan dari penghuni danau yang mendekat. Setiap kali salah satu dari mereka mencoba menyerang Jimin, ia melepaskan anak panah secara akurat.

Semua bertahan kurang dari dua menit sebelum Jimin yang lengah terjerat akar besar yang merambat cepat, melilit lehernya, dan mengangkatnya dari batu. Jimin tercekik, matanya melotot panik saat ia berusaha melepaskan diri. Teriakannya teredam oleh tekanan akar yang kuat, tubuhnya bergetar dalam usaha sia-sia untuk bebas.

Yoongi melihat kejadian tersebut seketika terbelalak, jantungnya berdetak kencang. Panik menggenggamnya saat ia menyadari bahwa Jimin dalam bahaya. Dengan tangan bergetar, Yoongi menarik busur dan mempersiapkan anak panah, mencoba mengukur dengan hati-hati agar tidak mengenai Jimin.

“Jimin!” teriak Yoongi, suaranya sarat ketegangan. Ia memfokuskan semua perhatiannya pada akar yang menjerat, berusaha menembusnya dengan panah. “Tahan sedikit lebih lama!”

Sayangnya, setiap panah yang dilesatkan hanya membekas pada akar tanpa memutusnya, dan akar-akar lain mulai bergerak mendekat pun menambah kesulitan. Yoongi mulai putus asa. Waktu mereka tidak banyak. 

Sampai di mana Yoongi memutuskan ikut maju guna menolong. Namun, saat ia melangkah, suara asing dari belakang dan sebaris panggilan akrab membuatnya kehilangan konsentrasi. Ia tergelincir, terjatuh ke dalam kegelapan. Alih-alih merasakan dinginnya air danau lalu tenggelam hingga kekurangan oksigen, pemuda itu justru mendapati lembutnya karpet bulu tebal berwarna biru cerah.

Lintang masa kini menarik seluruh kesadaran pada kenyataan yang sesungguhnya. Seseorang melongok dari pintu kamar yang sedikit terbuka. Itu adalah Haeri, ibu kandung Jimin, sedikit mengernyit melihat kekacauan di kamar sang anak. Terlebih menemukan situasi konyol seperti Yoongi telungkup di atas karpet memegang ranting pohon, kemudian Jimin mengalungkan tirai jendela sembari berpura-pura kesakitan. Sibuk sekali dua bocah cilik itu bergumul dalam imajinasi.

Haeri menghela napas, senyum lembut terukir di wajah. Ia melangkah masuk berniat menenangkan anak-anak yang terkejut oleh kehadirannya. “Sudah saatnya makan siang, Nak." 

"Aduh, Mama," Jimin berseru lebih dulu. Sembari cemberut ia melepas kain gorden dari leher. "Kami ada misi penting. Tidak bisa diganggu. Iya, kan, Yoongi?" 

Yang ditanya sempat kebingungan. Beranjak dari karpet, Yoongi membenahi jubah kebesaran yang tersangkut di punggung. "Hm, tapi aku lapar juga, sih."

Merasa terkhianati karena perbedaan pendapat yang bertolak belakang, Jimin nyaris kehilangan kata-kata. Ia bahkan menatap setengah tak percaya sebelum sedikit tertunduk lesu. 

Menyadari hal itu, Haeri menahan tawa geli. Berusaha mencairkan suasana, ia bertanya, "Jadi, kali ini ada apa, Jagoan?" 

"Kami harus mengalahkan peri air." 

"Seperti goblin, tapi besar. Jelek." 

"Warnanya persis upil."

"Suka memakan manusia." 

"Tidak dimakan, deh. Menculik saja." 

"Oh, iya. Diculik lalu dijadikan prajurit bayangan."

"Makanya, ranger putih dan ranger merah perlu kerja sama agar bisa menyelamatkan korban." 

Haeri masih mendengarkan tanpa ingin menginterupsi. Bagaimana heboh sekaligus serunya dua bocah itu bercerita mengenai karangan mereka sendiri, cukup menghadirkan gelitik di perut. Tatkala keduanya berhenti barulah ia berkomentar, "Tidak Mama sangka ternyata situasinya sangat rumit. Oleh karena itu sebagai asupan untuk para ranger, siapa yang mau puding cokelat?"

Makanan manis selalu terasa menggiurkan meski gigi sering berdenyut dibuatnya. Jimin dan Yoongi seketika saling bertatapan dengan binar di bola mata masing-masing. Kali ini mereka enggan menolak. Seruannya terbukti lantang saat menjawab tawaran barusan.

About Us [MINYOON] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang