50. Si Kecil Joan

578 73 13
                                    

Sebentar lagi waktu istirahat akan berakhir. Sembari membawa kopi dingin yang dibelinya dari minimarket, Yoongi hendak memasuki gedung bertingkat kalau saja rengekan bocah lelaki di tangga depan pintu masuk tidak mengalihkan perhatiannya. Tak jauh dari sana, Kim Namjoon, seseorang yang dikenalnya karena masih rekan kerjanya tampak kalang kabut selagi mengetik sesuatu di layar ponsel.

Yoongi bertanya, "Apa yang terjadi?"

Si teman langsung menjawab, "Anak Pak Bos merajuk. Tolong abaikan saja, dia takkan mengganggu."

Ah, Tuan Muda. Yoongi baru teringat jika ia pernah melihat anak lelaki tersebut beberapa waktu yang lalu bersama sang ayah, Park Jimin. Lantas ia mendekat, inisiatif menyapa, "Hai?"

Balasan yang diterima berupa lirikan sengit. Pemuda Min yang baru mendaratkan bokong mendadak takut diamuk. Berbekal keberanian yang sebenarnya tidak seberapa, Yoongi berdeham sambil mencuri-curi pandang. Ia meneliti lebih dekat bagaimana penampilan bocah tersebut; seragam taman kanak-kanak masih melekat rapi, ukiran nama "Joan" terdapat di atas saku sebelah kiri, alas kakinya sepasang sepatu kecil yang terlihat mengkilat, tas punggung berwarna kuning cerah yang berbanding terbalik dengan raut mukanya yang galak. Namun, selembar kertas berukuran A3 yang dicengkeram kuat jemari mungilnya membuat Yoongi lebih penasaran.

Tetap berusaha membuka obrolan, Yoongi berujar meyakinkan, "Kau tahu, aku ini sangat payah dalam urusan melukis, mewarnai, atau pun menggambar. Terakhir kali aku mencoba dengan warna biru dan hitam di atas kanvas, tapi sayangnya, aku tidak sengaja menginjak lukisanku sendiri."

Joan dengan ekspresi tak sukanya mencebik. Menatap pemuda yang lebih tua di samping, ia mungkin membatin mengenai Yoongi yang berlagak sok kenal.

Belum tampak ada keluluhan, Yoongi kembali menambahkan, "Sepertinya gambar milikmu lebih bagus."

Kali ini si cilik terlihat berpikir. Dahinya berkerut dalam. Perlahan ia membalik kertas dan menaruh di pangkuannya. Sorot maniknya mulai berkabut sedih. "Tentu saja. Aku bekerja keras untuk ini."

"Apa boleh kulihat?"

Sedikit tidak yakin, tetapi rasa bangga lebih mengalahkan segalanya. Joan menggeser karya miliknya ke arah Yoongi yang langsung telaah oleh pemuda tersebut.

Selembar kreasi penuh warna khas anak kecil. Di sudut kertas dibubuhi huruf "A" sebagai nilai sempurna dari sang guru. Yoongi mengamati setiap inci coretan krayon yang membentuk ilustrasi seorang lelaki menjinjing tas kotak cokelat dan di sampingnya lelaki lain yang ukurannya lebih kecil dengan es krim besar di genggaman. Kemudian ditambah pepohonan, bunga yang bermekaran, awan beserta matahari, bahkan terdapat kucing dan ayam sebagai pelengkap. Yoongi terenyuh, tanpa sadar matanya terasa panas. "Ini bagus sekali."

Joan menoleh terkejut.

"Akan kuberikan nilai A sebanyak sepuluh kali untukmu." Yoongi lantas mengusap-usap puncak kepala anak tersebut. Ucapannya mengalun tulus sambil tersenyum hangat yang mana langsung menusuk hati mungil milik Joan. "Terima kasih sudah bekerja keras membuat gambar sebagus ini. Kau keren."

Sejenak Joan dibuat terpana, bibirnya melengkung. Menahan diri untuk tidak menangis ternyata sangat sulit. Pemuda di sebelahnya ternyata bahaya.

"Lain kali ajarkan aku-eh?" Yoongi hampir menumpahkan kopinya sesaat menyadari Joan menutup wajah dengan telapak tangan dan menangis tersedu-sedu. Seolah refleks ia menariknya ke dalam pelukan sambil mengusap lembut punggung si kecil.

Namjoon yang mendengar nyaris menjatuhkan rahang. "Yang benar saja, Yoon."

"Aku bersumpah, aku tidak melakukan penganiayaan, Kim. Tiba-tiba saja dia menangis." Yoongi ikut panik padahal tujuannya sebatas memuji. Rasa khawatirnya bertambah mengguncang sekujur badan ketika suara lain muncul dari belakang.

"Apa yang kalian lakukan di sini?"

Kedua pemuda yang sedang berpelukan langsung menoleh. Yoongi seketika panas dingin. Berbeda dengan Joan yang sekejap berhenti menangis itu tampak memicing jengkel.

"Ta-tadi-"

"Kembali ke meja kerjamu."

"Baik, Pak," sahut Yoongi cepat. Daripada mengutuk diri karena sempat terbata-bata sesaat ingin menjelaskan apa yang terjadi, ia memilih untuk segera angkat kaki dari sana. Di hadapannya kini Park Jimin yang baru saja turun dari lantai atas dan memandang dengan tatapan menyelidik. Tentu saja, siapa pun akan bereaksi sama kepada pelaku yang membuat si buah hati menangis.

Sebelum kembali ke ruangannya, Yoongi menyempatkan untuk melambaikan tangan ke arah Joan. Senyum canggung yang tersemat di wajah menunjukkan ia menyesal setengah mati dan merasa tak enak. Kala itu, ia pikir tidak mau lagi berurusan dengan anak kecil. Selain perasaan mereka yang sensitif, peran orang tua di belakang sebagai proteksi si anak terkadang cukup menyeramkan.

Meski demikian, esok hari justru menjadi hal yang tak pernah sekalipun Yoongi kira akan terjadi dalam hidupnya. Setelah satu pekikan cempreng bernada angkuh menggelegar ke penjuru ruangan.

"Aku mencari Min Yoongi."

Di bilik meja kerja, si pemilik nama tidak mendengarnya karena disumpal earphone. Lagu-lagu BTS, boyband asal Korea Selatan sukses mengalihkan. Sampai rekan di sebelah perlu mencolek bahunya.

"Apa?" Yoongi menoleh, penyuara telinganya dilepas.

"Kau dicari seseorang."

"O ya?" Berdiri dari kursinya sigap, Yoongi menatap sekitar. "Siapa yang mencari ... aku?"

Apa yang dilihat Yoongi sekarang membuatnya sulit mencerna. Di ambang pintu ruangan terdapat Joan, si cilik yang ditemuinya kemarin bersama Namjoon sebagai tangan kanan sang ayah bocah tersebut. Menyadari pemuda Kim di sana menatapnya seolah meminta pertolongan, mau tidak mau ia segera menghampiri keduanya.

"Hai, lagi?"

Mengabaikan sapaan itu, Joan menyodorkan selembar uang bernominal sangat besar untuk anak berusia lima tahun. Sisa-sisa bedak tabur di wajah tidak meruntuhkan raut seriusnya. "Apa kau mau bekerja denganku? Aku bisa menggajimu lebih besar daripada Papa."

Yoongi melongo. Menatap Joan tak berkedip, ia kebingungan sambil menggaruk pelipis. Namun, belum sempat mengomentari, seseorang yang baru saja datang merebut atensi keseluruhan orang yang ada di ruangan.

"Sudah kukatakan untuk pergi ke sekolah. Apa yang kau lakukan di sini?" Jimin setengah gemas. Dari sorot mata ingin sekali mencubit pipi si anak.

Joan mengabaikan omelan ayahnya. Ia malah menunjuk salah satu pemuda dan berujar kelewat percaya diri, "Aku mau dia, Pa."

"Apa?" Dapat ditebak jika raut muka Jimin begitu tak bersahabat. Mengikuti arah pandang Joan, ia mendapati Min Yoongi, karyawan dari divisi pemasaran bergeming dan hanya kedua kelopak maniknya yang berkedip-kedip.

"Suruh dia bekerja di rumah saja bersamaku." Joan masih tetap pada pendiriannya.

"Tidak bisa."

"Memangnya kenapa, sih?"

"Joan."

"Papa mau Min Yoongi-Min Yoongi ini juga?"

"Apa yang-"

"Apa dia Min Yoongi yang Papa sukai? Apa dia Min Yoongi yang sering Papa bicarakan dengan Kak Namjoon?"

Hening seketika menyebar ke setiap sudut. Tak ada yang berani membuka mulut meskipun fakta yang baru saja terlempar jelas meletuskan gosip panas. Perkataan dari ceruk bibir anak kecil terkadang memiliki kejujuran tersendiri sebab mereka sepenuhnya tanpa kebohongan.

Lambat-laun kondisi di dalam ruangan yang berisi sepuluh orang mulai ramai. Bisik-bisik rasa penasaran, keterkejutan, ketertarikan bahan obrolan baru. Namjoon memijat pangkal hidungnya, pasrah akan keadaan. Jimin terlihat mengalami kelu lidah dengan cuping telinga kemerahan. Si kecil Joan yang tidak paham sibuk memandangi satu pemuda penuh binar di kedua bola mata.

Lantas, jika ditanya bagaimana reaksi Yoongi yang menyabet topik utama, pemuda itu tercenung lama di tempat. Otaknya buntu, tidak bisa memproses.

Awal tahunnya berhasil terjebak antara dua Park. Luar biasa.

About Us [MINYOON] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang