42. "Iya, di sini tempatnya."

427 41 8
                                    

Jam malam sudah berakhir dari sekian menit yang lalu. Terlihat dari jarum pendek yang berputar di porosnya berhenti di angka tiga, hari nyaris pagi. Yoongi, bocah berusia sembilan tahun yang kini tengah menopang dagu tampak begitu lelah. Matanya mengantuk, tetapi masih berusaha fokus untuk memandangi objek di luar jendela; sebuah bukit yang memiliki satu pohon besar dan terdapat ayunan yang terikat di salah satu dahannya. Kendati begitu, terangnya purnama berhasil menyorot sesosok anak kecil yang ada di sana.

Yoongi mengerutkan dahi, sepasang netranya tidak salah lihat. Memang ada seseorang di bukit tersebut. Lantas dengan usaha mengendap-endap seperti perampok handal, ia sukses melarikan diri setelah menyadari tidak ada yang sedang terjaga di rumah. Kedua tungkainya berlari tergesa-gesa, melupakan embusan angin dingin, lolongan hewan, juga kondisi penerangan yang seadanya. 

Beruntung tempat yang dituju memiliki gapura tinggi dan anak-anak tangga sebagai penuntun jalan—sebelumnya sudah Yoongi lihat saat sore tadi—sehingga meminimalisir ia akan tersesat. 

Begitu sampai di puncak teratas, Yoongi kesulitan berdiri. Kakinya lemas, napasnya tersengal, keringat bercucuran dari pori-pori kulitnya. Tanpa menunggu lebih lama, ia menunjuk satu presensi—ia tebak berumur lebih muda darinya—yang sedang menatapnya. Yoongi berseru antusias, "Kau Malaikat Bulan, 'kan?" 

Yang ditanya sontak kebingungan, ia sedikit memiringkan kepalanya. "Apa?"

"Malaikat Bulan. Iya, 'kan?" Yoongi melangkah maju, telunjuknya berada tepat di depan wajah si pemuda. "Aku pernah membaca di buku cerita milikku." 

"Bukan."

"Iya, benar!"

"Bukan!"

"Ih, benar! Malaikat Bulan!"

"Bukan, aku Jimin!" Pemuda yang mengaku bernama Jimin, ikut berteriak. Alisnya menukik tajam, ia merasa risih.

Yoongi refleks mendelik tidak terima. Ia memperhatikan sosok yang masih duduk di bangku ayunan. Entitas agung dari lembaran dongeng miliknya diceritakan sebagai seorang pria gagah rupawan, mengenakan pakaian satin dengan bordiran emas menyala, dan akan mengunjungi tempat-tempat tinggi guna memberikan kebajikan. Akan tetapi, bocah di hadapannya jelas berbeda jauh. Yoongi bahkan masih bisa melihat setelan lusuh dan rambut teracak bebas seolah tidak terawat. 

Wah, salah ternyata. 

Malu mengakui kesalahpahamannya, Yoongi memilih membuang muka sembari bersedekap. "Oh, ya sudah. Bertanya saja, kok."

Jimin tampaknya tak ingin ambil pusing. Ia menatap lebih ramah. "Kau siapa?"

"Yoongi Min," sahut Yoongi. "Untuk beberapa tahun ke depan aku akan menetap di kota ini. Kau tahu rumah besar bercat putih dekat ladang jagung? Kemarin sore aku baru saja menempatinya." Ia memang terlampau vokal. Tidak peduli lawan bicaranya termasuk orang asing ataupun bukan.

"Bersama orang tuamu?" 

"Bukan orang tua kandung karena dulu aku dibuang," jeda sejenak. Yoongi menepuk betisnya yang dihinggapi nyamuk. "Sekarang aku tinggal bersama dua Mama yang mengadopsiku." 

Jimin memperhatikan si bocah mulai mendekatinya dan berdiri di sebelah ayunan. Sekelumit ragu terlihat ketika ia berkata, "Kau tahu, rumah itu ... siapa pun hanya akan bertahan beberapa hari saat menempatinya." 

"Ha? Alasannya?"

"Berita duka." 

Merasa yakin sekadar bualan, Yoongi justru mendengkus remeh. Mengabaikan reaksi itu, Jimin kembali berucap, "Sebentar lagi akan pagi, kau harus turun." 

"Iya, sebentar lagi aku akan pulang." Sembari mengibaskan tangan agar tidak membahas lebih lanjut, Yoongi mengalihkan pembicaraan. Ia mendaratkan bokong di rerumputan, jaraknya agak jauh dari Jimin dan separuh membelakangi. Pemandangan yang ia lihat sangat luar biasa. Kerlip taburan bintang beserta sebongkah bulan yang bulat sempurna terlihat cantik sekali ketika ia mendongak. Yoongi rasa ia perlu sering-sering datang ke bukit tersebut. "Kau penduduk asli kota ini, Jimin?"

"Ya," Jimin membalas sambil memandang sebuah lokasi padat pemukiman. "Rumahku ada di sana." Karena posisinya berada di puncak bukit, ia bisa melihat sekumpulan atap-atap bangunan di dataran rendah. 

Yoongi menoleh singkat lalu mengangguk singkat. "Kau sering kemari?"

"Ini tempat terbaik."

"Tentu saja," Yoongi menyetujui. Ia iseng mencabut setangkai rumput liar dan melemparnya main-main. "Karena kau bisa melihat pemandangan ba—"

"Karena di sini adalah tempat di mana aku mati." 

Usapan angin pada wajah menjadikan Yoongi mengerjap. Ia mendengarnya jelas. Lantas setelah memberikan perhatian sepenuhnya kepada Jimin, ia menangkap pemuda itu menatapnya kosong, penuh kesepian. Buncahan sakit hati, amarah, juga kesedihan menyelimuti kedua maniknya. Begitu pula kalimat berikutnya seolah-olah sengaja menyayat hati.

"Bisakah kau menemaniku di sini?" 

Sayangnya pada saat matahari menyingsing dari ufuk Timur yang perlahan mulai bercahaya, Yoongi tak dapat lagi menikmatinya. Tatkala kabar kematiannya merebak pesat setelah ia ditemukan teronggok mengenaskan di lereng bukit.

 Tatkala kabar kematiannya merebak pesat setelah ia ditemukan teronggok mengenaskan di lereng bukit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Enggak tau kenapa, liat gambar ini hawanya sedih banget.

About Us [MINYOON] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang