Ahra | Sepuluh

82 7 1
                                    

Ahra Side




"Kau benar benar tidak akan pulang ?" Tanya Yoongi saat mereka bertujuh sudah sampai di kediaman keluarga Park.

Ahra menggelengkan kepalanya dengan yakin, "untuk hari ini, aku akan menginap di rumah Jimin dulu."

"Sampai kapan kau akan menutupinya dari Bibi ?"

Pertanyaan yang Yoongi lontarkan tidak bisa langsung Ahra jawab. Pasalnya ia pun tak tahu akan sampai kapan terus bersembunyi seperti ini dari Hanna.

Ia hanya tak ingin Hanna kembali terpuruk saat mengetahui bahwa satu satunya gadis yang ia miliki, akan menyusul adiknya yang sudah lebih dulu pulang.


"Mau bagaimanapun, dia Ibumu yang selama ini merawatmu. Tidak wajar jika kau terus menutupinya," kali ini suara Seokjin yang terdengar. "Setidaknya, kau bisa melewati saat saat sulit seperti ini bersamanya. Kalian bisa saling menguatkan satu sama lain, tanpa perlu saling menyakiti seperti ini."

Ahra semakin terpekur dalam pikirannya. Apa ia harus pulang dengan keadaan seperti ini ? Apa dia akan kuat saat Hanna menangisi keadaannya yang sekarat ?

Apa dirinya kuat, saat harus pergi di pelukan wanita yang separuh hidup yang dimilikinya ia  habiskan untuk merawat dirinya ?

Karena sejujurnya, yang Ahra takuti adalah dirinya sendiri.

Ahra takut berharap untuk kembali sehat saat bertemu dengan Hanna, sedangkan kenyataannya, sudah tak ada lagi usaha yang dapat ia lakukan untuk memulihkan tubuhnya dari penyakit ini.

Semua yang ia lakukan selama ini, hanyalah harapan semu sebelum akhirnya tubuhnya sendiri yang menyerah karena sudah terlalu lelah.


Akhirnya Ahra menganggukan kepalanya, membuat Yoongi dan Seokjin yang sedaritadi menunggu tanggapan dari Ahra menjadi tersenyum hangat.

"Antarkan aku pulang nanti pada Eomma."

Yoongi dan Seokjin mengangguk dengan kompak saat mendengar permintaan gadis yang sudah mereka anggap sebagai adik kecilnya itu. Senyum Ahra semakin mengembang begitu saja.






"Saat aku sudah menjadi abu."


"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hingga sore hari, yang masih tersisa di rumah Jimin hanyalah Hoseok dan Taehyung. Yang lainnya sudah pulang karena jadwal mereka yang tak bisa lagi ditunda.

Taehyung dan Ahra sudah duduk santai di atap rumah Jimin yang biasa di gunakan untuk menjemur pakaian. Dari posisi mereka saat ini, mereka dapat melihat jelas halaman belakang rumah Ahra yang berada di bawah sana.

"Apa Bibi jarang berada di taman ?" Tanya Taehyung saat mereka tak mendapati Hanna memasuki area halaman belakang sejak tiga-puluh menit yang lalu.

Iya, mereka sengaja berada di atap seperti ini hanya karena Ahra yang ingin mengetahui keadaan Ibunya.

"Eomma akan keluar setelah matahari turun, dia lebih senang memandangi bintang daripada merasakan hangatnya matahari." Jawab Ahra, membuat Taehyung mengangguk mengerti.

Pandangan Taehyung berpindah pada jendela cokelat yang berada di sisi kanan rumah.

"Itu kamarmu ?"

Ahra ikut menoleh saat Taehyung menunjuk salah satu sisi rumahnya. "Iya, itu kamarku, dan di seberangnya adalah kamar Jimin."

Namun, yang menarik perhatian Taehyung bukanlah posisi kamar Ahra yang berhadapan langsung dengan kamar milik Jimin.


"Apa yang ada di atas jendela kamarmu ?"

Mendengar pertanyaan Taehyung, Ahra mengubah arah pandangnya jadi menatap matahari yang semakin turun dari peraduannya.

"Barang barang yang ingin aku bawa ke surga nanti," jawabnya pelan. "Karena kau sudah tahu, tolong bawa kotak itu saat aku di kremasi nanti. Masukan semua barang yang ada di dalamnya ke dalam peti matiku "

"Ra.." bisik Taehyung dengan sesak, "kau akan sembuh."

Ahra sejujurnya sudah muak dengan kalimat yang Taehyung dengarkan, hampir lima tahun dia mendengar kalimat penenang tersebut. Tapi apa nyatanya ? Ia tetap akan mati karena penyakitnya ini.

"Jangan terus memaksakan dirimu untuk menutup mata, Tae," decak Ahra pelan. "Aku ini sudah sekarat, aku hanya tinggal menunggu malaikat menjemputku untuk pulang. Kau tahu itu." Lanjutnya dengan tegas.



Hoseok dan Jimin tiba di atap dengan masing masing membawa satu nampan.

Keadaan atap saat mereka berdua masuk, hening. Ahra dan Taehyung duduk dengan menatap arah yang berbeda. Ahra menatap matahari terbenam, dan Taehyung menatap langit jingga, jejak yang ditinggalkan oleh sang matahari.

Sadar dengan keadaan yang sedikit kaku, Hoseok pun mendekati keduanya. Menyimpan nampan yang ia bawa di atas meja yang sudah ada dari sebelumnya.

"Ada apa ?" Tanya Hoseok lembut, membuat Taehyung dan Ahra menoleh secara bersamaan.

Ahra terkejut saat melihat Taehyung yang sudah berderai air mata dengan hidung yang memerah.

"Kenapa kau menangis, Tae ?" Tanya Ahra khawatir, begitupun Hoseok dan Jimin yang terkejut melihat Taehyung yang berantakan seperti ini.

Mata dan hidung memerah, air mata yang merebak di pipi serta rambut yang benar benar berantakan.

"Aku tak ingin kehilanganmu, Ra.." parau Taehyung, membuat Ahra mencelos setelah mendengar jawaban yang diberikan oleh lelaki yang ia kenal sejak mereka masih berseragam abu abu.

Dengan pelan, Ahra merapihkan rambut pirang Taehyung dengan jari jarinya. "Kalau aku sudah pergi, jangan lupakan aku, ya ? Kalau bisa sering seringlah mengunjungi abuku," pinta Ahra, "aku tak ingin kau melupakanku suatu hari nanti." Lanjutnya pelan.

Mendengar permintaan Ahra, baik Jimin maupun Hoseok berusaha untuk tidak kembali larut dalam kesedihan.

Hoseok mengusap bahu Ahra hangat, "tak akan ada yang melupakanmu," katanya.

Jimin mengangguk setuju dengan apa yang Hoseok ucapkan. "Aku bisa jamin itu," ucapnya dengan yakin, "aku yang akan membuat mereka selalu ingat denganmu .. termasuk, Jungkook."

Mendengar nama yang sudah hampir tiga bulan ini tidak ia dengar, membuat sesak di dada Ahra kembali mendera.

Setelah menyeka air mata Taehyung, Ahra kembali duduk di kursinya dengan tegak. Menatap bintang yang perlahan mulai bermunculan.


"Beritahu Jungkook nanti, kalau aku akan menjadi bintang yang paling bersinar di atas sana."

Ketiganya ikut menatap langit yang mulai bermandikan bintang, mencari bintang yang paling terang diantaranya.

"Tak perlu menjadi terang agar kehadiranmu disadari, cukup menjadi setitik bintang kecil yang selalu ada di setiap malamnya. Itu sudah cukup."

2020-04-03

HOUSE OF CARD [JJK] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang