Cuaca Kedelapanbelas : Pelangi yang Dijanjikan

742 48 10
                                    

Hujan masih mengguyur kota. Kelebat cahaya di langit bersusulan satu sama lain. Bunyi menggelegar dari petir menggetarkan bumi. Orang-orang mengira hujan yang turun di hari kemarin adalah hujan terakhir di bulan ini.

Sayangnya, tak banyak yang tau bahwa hujan kali ini adalah respon alam atas emosi seseorang.

Summer has come and passed
The innocent can never last
Wake me up when September ends

Sebuah lantunan lagu mengalun lembut dari ponsel seorang pasien. Dia tak peduli sudah berapa kali playlist tersebut mengulang lagu. Singel lawas dari salah satu band Amerika, Green Day, benar-benar menyuarakan isi hatinya saat ini.

Like my fathers come to pass
Seven years has gone so fast
Wake me up when September ends

Dia pernah merasakan kehilangan di masa lalu. Kali ini, dia mengalami lara lagi. Kemarin, tepat dimana tragedi itu terjadi. Dia kehilangan orang yang dianggap berharga dalam beberapa bulan belakangan.

Here comes the rain again
Falling from the stars
Drenched in my pain again
Becoming who we are

Dia masih meringkuk di atas ranjang, membalut diri dengan selimut. Dia membenci hujan yang turun di hari ini. Hujan yang benar-benar mendukung kepedihan di hati.

As my memory rests
But never forgets what I lost
Wake me up when September ends

Dia ingin terus tertidur, melewati bulan September yang menyengsarakan. Bulan yang ia pikir akan menjadi sebuah kebahagiaan kecil dalam hidup ternyata hanya angan belaka. Semua kenangan yang tersimpan dalam memori tak akan pernah hilang. Tiga bulan berarti yang berhasil merubah pribadinya.

TOK TOK. Seseorang masuk ke kamarnya dan mematikan lagu penuh frustasi yang diputar tanpa henti. Orang itu memberi teguran agar dia bergegas menuju ke upacara pemakaman.

"Ini, aku membawa setelan pakaian hitam dari rumah. Pakailah segera. Upacara pemakaman akan dimulai pukul delapan tepat. Aku menunggumu di luar"

Dia hanya melirik baju serba hitam yang terletak di atas meja. Semangatnya musnah sudah, seiring kepergian orang yang ia sayang. Sepertinya ia tak akan bisa bangkit sepenuhnya.

Dia masih terpaku di tempat. Belum mau beranjak untuk menerima kenyataan. Dia bak manusia yang hidup tanpa jiwa.

"Ikou" ajak seseorang yang terus menunggu, "kita harus memberikan penghormatan terakhir"

Dia pasrah. Dia berganti baju, mengenakan pakaian bernuansa hitam. Ia masih belum menerima fakta bahwa dirinya masih hidup, padahal seharusnya dialah yang mati lebih dulu. Entah bersyukur atau merutuki nasib, ia bimbang harus menyikapi hidup seperti apa. Semua menjadi semu dan terasa hampa.

"Baguslah, kau sudah siap. Tak ingin memakai alat bantu jalan?" tanya seseorang yang menantinya di depan ruang.

"Iie, aku masih bisa berjalan sendiri" tolaknya.

"Baiklah"

Dua orang itu pergi dari kamar perawatan yang terletak di lantai dua. Mereka menuju lift di ujung lorong untuk turun satu lantai. Salah satu dari mereka menekan tombol 1 yang merupakan lantai yang diinginkan.

Sesampainya di lantai dasar, dia melihat pusat rehabilitasi yang selama ini terus dikunjunginya. Semua luluh lantak terbakar akibat kejadian sehari lalu. Sebuah insiden saat ia kehilangan orang berharga baginya. Sebuah kenyataan saat ia menyaksikan orang tercintanya kehilangan nyawa.

"Sudahlah. Jangan terus menatap ke arah sana. Kita juga harus melangkah maju"

Dia memutar rekaman di otaknya di hari lalu, dimana ia terkepung dalam kobaran api dan menyangka hidupnya akan berakhir. Namun ia salah kira. Seorang pria tiba-tiba menerobos masuk, membantunya keluar dari kepungan api.

Under the Raining Sky ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang