12. panas hati

8 2 0
                                    

Aku menatap diriku di pantulan cermin. Terlihat mengenaskan. Mata sembab, rambut acak-acakkan dan bekas ingus berceceran di sekitar hidung. Sedikit menjijikkan. Semalaman aku menangis, menjadikan diriku seolah-olah sosok yang paling tersakiti.

"Bio! Udah ditungguin Aksa nih!" Mama berteriak.

Aku pura-pura tuli.

Kuusap wajahku kasar, lalu beralih meninggalkan cermin. Kuambil salah satu handuk yang menggantung digantungan baju dan menuju kamar mandi; untuk mandi bebek.

Dinginnya air menyapa permukaan wajahku. Beku seketika. Namun, hal lain juga terasa, seperti ada energi yang menusuk jiwaku dan membuat kesedihan-kesedihan itu sirna. Semacam ilusi sihir.

Beberapa menit berkutat dengan rutinitas pagi yang selalu sama, aku kini telah rapi dan mulai menuruni tangga, menghampiri Aksara yang mulutnya tengah mendumel tak bersuara. Aku memutarkan mata malas walau tak akan terlihat oleh lelaki itu karena aku mengenakan kacamata photocromic. Sengaja aku mengenakan kacamata ini, agar sembabku tak diketahui mama. Berhubung dapur rumah ini mendapatkan sinar matahari yang sangat bagus ketika pagi karena bersebelahan dengan ruang terbuka a.k.a taman mini mama, kacamataku ini pasti berfungsi sesuai yang kuinginkan.

"Tumben pake kacamata," kata mama seraya menyodorkan bekal makanku.

Aku masih malas untuk berbicara, jadi sebagai jawaban aku hanya mengedikkan bahu. Memang tidak nyambung sama sekali. Tapi aku tidak peduli.

Kotak bekal -yang mama berikan- kumasukkan ke dalam tas, lalu aku sedikit menegak susu penambah tinggiku itu. Aku hanya melambaikan tangan sebagai tanda hendak berangkat sekolah ke mama. Masih tanpa sepatah kata. Raut wajah mama terlihat heran, tapi aku lagi-lagi tak peduli. Aku masih malas untuk berbicara.

Aksara di belakangku. Juga tengah diam sama sepertiku. "Lagi bisu?" celetuknya tiba-tiba.

Suhu tubuhku naik seketika. Aku berhenti berjalan. Menunggunya hingga bersisian denganku. Ketika badannya tepat di sebelahku, aku menyikut perutnya agak kencang. Sebagai langkah meluapkan kekesalan.

"Aduh ... aw ... ssstt ... sakit." Aksara merintih kesakitan.

Aku ikut mencodongkan badan tatkala Aksara menunduk dan memegang perutnya. Ikut panik bukan main dan merasa bersalah. Takut Aksara kenapa-napa. "Sakit beneran ya?" Aku memegang lengannya berusaha untuk menopangnya. "Maaf," cicitku lirih.

"Aaa!" Seketika aku berteriak karena Aksara tiba-tiba terjerembab di aspal jalanan. Ia masih memeluk erat perutnya. "Gue manggil mama bentar, mau minta tolong!" kataku panik. Aku berlari hendak kembali ke rumah.

Baru beberapa langkah aku berlari, tanganku digapai tiba-tiba oleh seseorang. Otomatis aku terhenti. Dan Aksara, pelaku yang menarik tanganku.

"Selamat anda kena prank! Itu kameranya di sana."

Raut wajahku yang awalnya khawatir menjadi datar seketika. Kuinjak kuat kaki kanan Aksara yang terbalut sepatu sekolah. Lalu aku berlari meninggalkannya tanpa sepatah kata. Tak peduli ia kesakitan atau bagaimana.

Aku benci padanya.

Aku melihat Merlin tengah duduk di halte dengan kepalanya bersandar ke sandaran bangku. Aku berlari meninggalkan Aksara bukan kembali menuju rumah tapi menuju halte. Tak mungkin aku yang sudah rapi begini tiba-tiba pulang ke rumah dan tak jadi pergi ke sekolah dengan alasan tengah marah ke Aksara. Bisa-bisa aku dibantai mama.

"Pelangi!" Merlin menyambutku dengan penuh suka cita. Sangat bahagia. "Lama banget sih lo! Gue nungguin bus sendirian kayak kambing cengo, tau nggak?!" omelnya.

"Nggak!" jawabku ketus.

"Yang harusnya bete itu gue bukan lo!" omel Merlin lagi.

"Dan yang seharusnya marah itu gue bukan lo!" sanggahku.

Beginilah gambaran jika dua wanita yang tengah badmood bertemu.

••o••

Merlin memaklumiku mengapa aku marah-marah padanya tadi setelah ia melihat Aksara meminta maaf padaku. Jadi aku tak perlu tak enak hati pada gadis itu.

Aku sudah melupakan masalah Aksara, kini perhatianku tercurahkan pada masalahku dengan Yura. Mengapa ia tak mengajakku kerja kelompok. "Haduh ... orang pintar itu sok berkuasa banget ya. Semuanya diatur, bahkan kalau dia nggak suka sama salah satu anggota kelompoknya bakal nggak diajak kerja kelompok deh. Terus nanti pas ditanyain guru, dia jawabnya, 'oh dia nggak mau dateng bu pas kerja kelompok' basi tau nggak!" Aku menyindir secara blak-blakan.

"Emang lo aja nggak mau kerja kelompok!" Nisa tiba-tiba jadi panas, padahal aku tak menyindirnya.

"Udah nggak kerja kelompok, tapi malah nyidir-nyindir yang kerja kelompok! Situ waras nggak?" Ruby ikut-ikutan menyindirku.

"Dih ngerasa." Aku mengejek Nisa dengan memutarkan mata. "Dan lo nggak tau apa-apa, nggak usah ikut-ikutan deh!" Kutunjuk Ruby.

"Tanya tuh sama ketua kelompok lo. Kepada yang terhormat Yura, kenapa dia bilangnya nggak jadi kerja kelompok tapi tiba-tiba kerja kelompok tanpa ngasih tau gue. Kalo emang nggak suka sama gue bilang aja kali. Munafik tau nggak!"

"Kalo gue munafik, kenapa emangnya?" Yura marah. Dan ini kali pertama aku melihatnya seperti ini.

Sedangkan aku lebih dari kata marah. "Nah ngaku juga!"

"Lo itu nggak tahu balas budi! Udah gue kasih tumpangan beberapa kali, gue kasih contekan tapi nggak tahu diri! Gue males ngajak kerja kelompok orang yang nggak tahu diri sama tahu balas budi!"

Aku sakit hati. "Emang gue minta tumpangan? Nggak tuh, lo yang nawarin! Emang gue minta contekan? Enggak juga, lo yang tiba-tiba nawarin. Gue nggak pernah minta semua bantuan lo itu ya! Catet! Lo semua yang nawarin!" tukasku dengan menunjuk-nunjuk Yura. Emang agak berbelit-belit ucapanku itu, tapi tak kupedulikan. Orang marah tak bisa mengucapkan sesuatu dengan baik dan benar.

"Gue benci sama lo! Gue suka sama Gilang! Tapi kenapa lo malah sengaja deket-deket sama dia! Minta diajarin segala, padahal lo bisa minta bantuan anak-anak di kelas dulu! Dasar sok kecentilan!" jerit Yura. Ia juga menangis kala mengatakan itu.

Aku terperangah. Juga yakin anak-anak yang ada di kelas terkejut mendengar pemaparan Yura. "Ya ... siapa yang tau lo suka sama Gilang?" Kini aku berucap lebih lirih takut membuat Yura tambah menangis.

"Sesama cewek ngerti kali, kalo temennya suka sama orang. Emang lo aja yang nggak punya hati dan kecentilan!" Ruby menimpali.

"Ha?" Aku sedikit terkikik geli. "Emang lo kira gue cenayang bisa ngerti perasaan orang?"

"Cukup-cukup!" Dayat menengahi. "Kalo ketauan guru BK kalian ribut kayak gini, gue juga yang kena! Duduk di bangku masing-masing! Masalah selesai!" kata Dayat tegas.

Ruby dan Nisa tampak mencibir Dayat.

Aksara menarikku, ia mengarahkanku menuju bangkuku. "Nggak usah dilanjut." Begitu katanya.

Perkaraku dengan Yura memang tak ingin kulanjutkan. Yang ingin kuselesaikan yaitu menyalahkan Gilang, karena lelaki itu penyebab aku tak diajak kerja kelompok.

••o••

Apa yang kalian rasakan?

Ikut esmosi? *Emosi maksudnya.

Jangan lupa vote dan share! Komen juga!

AKSARA HILANG MAKNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang