Aku berlari menuju toilet. Dadaku sesak, sakit hati. Air mataku meleleh berceceran ke mana-mana, ingus juga termasuk.
Godzilla itu bukan manusia. Dia tidak punya hati! Tidak punya rasa empati! Mulutnya seperti emak-emak yang suka bergosip, tajam sekali! Memang pantas aku menyebutnya Godzilla, kelakuannya memang mirip tokoh fiksi yang menyeramkan itu.
Aku tersedu-sedu. Duduk di atas closet menutup wajah dan mengumpati lelaki itu. Bisa-bisanya di dunia ini ada laki-laki sebrengsek dia!
"Apa di bilik ini ada yang namanya Pelangi?"
Aku terkesiap, terdengar ada yang menyebut namaku. Aku menghentikan tangis dan mengontrol nafas secara teratur agar tidak terdengar seperti habis menangis.
"Iya?" jawabku dengan nafas tertahan.
"Oh itu, ada yang nungguin di depan," katanya.
"Oh, iya. Thanks." Biar kutebak, yang menungguku itu sepertinya Gilang, mungkin ia hendak meminta maaf. Jika benar dia yang menunggu, aku semakin enggan meninggalkan bilik ini, biar dia semakin merasa bersalah!
Tapi ... apa benar yang menungguku Gilang? Untuk sesosok manusia angkuh seperti dirinya kurasa tidak. Mungkinkah jika Aksara? Jiko? Atau Dayat? Ah ... kurasa ketiganya juga tidak mungkin. Lalu siapa?
"Maaf, ada yang namanya Pelangi? Dicariin, katanya kenapa lama banget." Ada yang menyebut namaku lagi. Namun suaranya berbeda dengan suara yang pertama kali memanggilku tadi.
Aku jadi sangsi, sebenarnya siapa yang mencariku? "Tolong bilangin, lagi gak mau ketemu."
Terdengar suara kasak-kusuk. "Haduh, itu temuin aja. Katanya kalau lima menit lagi lo nggak keluar nanti dia yang masuk ke sini," ucapnya terdengar kesal.
Aku mengembuskan nafas. "Ah iya, iya. Btw, thanks ya."
"Oke," jawabnya.
Ikatan rambutku sedikit kuperbaiki agar kembali kencang. Aku membuka pintu bilik lalu berjalan menuju wastafel dan membasuh muka agar tidak terlihat terlalu sembab, kemudian mengelapnya dengan tisu.
Beberapa siswi memandangku, mungkin mereka tengah berasumsi jelek. Ya ... siapa yang tahu pikiran orang lain? Aku mengembuskan nafas kesal sambil melirik mereka terang-terangan. Kemudian berlalu keluar.
Aksara menyender di dinding sebelah pintu toilet. Jika ada guru yang melihat, aku yakin pasti dia dihukum. Lihat saja lelaki itu, seperti orang yang hendak melakukan perilaku asusila.
Aksara tiba-tiba menarik tanganku, ia menatapku dalam. Selang beberapa detik aku kembali terisak. Pegangan Aksara kuhentakkan, aku menutup wajah dan isakanku semakin kencang.
"Bilang ... sama temen lo itu ... gue emang bego, gue emang goblok ... gue emang gak bisa berterima ... kasih," ucapku sambil tersedu-sedu.
Aksara memelukku. Ia juga mengelus rambutku agar aku tenang, namun aku semakin tak bisa berhenti menangis jika seperti ini. Orang yang sedang sedih terus mendapat perhatian pasti bakal tambah sedih dan itu yang tengah kurasakan.
"AKSARA!"
Aku tersentak. Pelukan Aksara terlepas. Aku menampilkan wajah dan mengusap kasar bekas air mata. Bu Rita menatap kami seram.
"Pelangi?" Ia menatapku heran. "Ada hubungan apa kalian?"
"Bu kami-"
Ucapan Aksara disambar Bu Rita. "Sudah! Kalian jelaskan nanti. Ikut saya!"
Aksara menggaruk tengkuknya. Ia menghela nafas. Kami berjalan membuntuti Bu Rita menuju sebuah gazebo yang terletak dekat gudang tempatku bertengkar dengan Godzilla.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARA HILANG MAKNA
Teen Fiction"Katanya aksara itu pasti bermakna, tapi kenapa aku merasa tidak berguna?" - Aksara Senardi "Katanya aksara itu belum bisa bermakna jika tidak ada huruf lain di sisinya." - Pelangi Biola Desember, 2020 © feffiamlp Cover by Bocah Halu Ig: @bocahhalu2...