13. guratan luka

6 2 0
                                    

Otakku tak berada di tempat kala guru menjelaskan materi. Kulirik Yura, ia tampak lebih baik dibanding ketika kejadian pagi tadi. Entah mengapa aku merasa bersalah kepada gadis itu. Padahal sebenarnya aku tidak bersalah bukan? Aku tak tahu jika Yura menyukai Gilang dan aku juga tidak ada niatan untuk sengaja mendekati monster Godzilla itu.

Kejadian ini menjawab pertanyaanku dulu, ini ternyata alasan mengapa Yura tiba-tiba baik padaku dan memberikan tumpangan secara cuma-cuma yaitu untuk mengorek informasi tentang Gilang dariku-mungkin karena aku sempat berselisih paham dengan lelaki itu sehingga ia beramsumsi bahwa aku dan Gilang telah saling mengenal sedari lama.

Sebagai sesama perempuan, aku ikut merasakan bagaimana sakit hatinya ketika melihat seseorang yang disukai dekat dengan perempuan lain. Berhubung dengan hal itu, aku tak mau memperpanjang masalahku dengan Yura. Aku ingin menghentikannya sampai di sini. Awal mula pertengkaran karena perasaan tidak akan pernah terselesaikan jika terus dibahas dan dilanjutkan. Aku ingin hubunganku dengan Yura kembali baik, apalagi waktu itu ia sempat baik padaku, terlepas tujuannya melakukan itu untuk apa.

Kebencian dan kemarahanku untuk Gilang sangat memuncak. Padahal sebenarnya Aksara juga turut bersalah dalam hal ini. Coba saja jika waktu itu Aksara tidak meminta bantuan Gilang untuk membantuku, masalah ini tidak akan tercipta. Namun anehnya, otakku seperti sedang terdoktrin, yang ingin kumaki-maki adalah Gilang, aku tak tahu mengapa ini terjadi.

"Ngi!"

Aku menoleh ke belakang. Menghadap ke arah Jiko dengan alis terangkat.

"Nggak jadi," katanya.

Seketika suhu tubuhku tiba-tiba naik. Kata demi kata terakhir yang Jiko ucap terdengar sangat menyebalkan. Aku memalingkan muka, menghadap ke arah semula. Memandangi guru yang tengah menjelaskan walau materinya tak ada yang sampai ke otakku.

Jam pelajaran keenam telah usai dan memasuki waktu istirahat kedua. Aku bergegas hendak mencari Gilang ke kelasnya. Tapi tanganku tiba-tiba dicekal oleh Aksara.

"Mau ke mana sih? Nggak usah nyari gara-gara! Gue tahu isi otak lo."

"Lo yang nggak usah nyari gara-gara sama gue!" Aku menghempaskan cekalan Aksara.

Aku beringsut, beranjak dari hadapan Aksara langsung menuju kelas Gilang. Sedikit kujelaskan, Gilang adalah murid unggulan. Eh bukan, maksudku kelasnya yang disebut kelas unggulan dan berisi murid-murid terpilih. Letaknya pun juga terpisah dengan kelas lain, biasalah kelas unggulan memang seperti itu, selalu diistimewakan. Kelasnya masih berada di kawasan kelas 11, namun letaknya berada yang paling muka.

Tepat di ujung koridor aku melihat manusia yang kucari tengah melenggang ke arah ruang guru, mungkin ia akan ke ruang OSIS, siapa yang tahu? Dia kan sekretaris OSIS; yang banyak muka.

Aku berlari, menghampirinya. "Gue mau ngomong! Ikut gue!" kataku tanpa nada ramah dengan melangkah lebih dulu menuruni undakan tangga.

"Ngomong sekarang bisa, 'kan? Gue punya urusan yang lebih penting dari pada harus ngikutin lo!"

"Nggak! Gue gak mau ngomong di sini!" balasku tak menengok ke belakang sedikit pun. "Karena lo yang harus tanggung jawab sama kekacauan yang menimpa gue belakangan ini!"

"Dih, gue ngapain emang?"

Aku mengatur nafas. Mengontrol agar emosiku tidak membara. Aku tak menggubris ucapannya dan memastikan ia masih mengikutiku. Ketika berada di bawah tangga, ia berbelok ke kanan padahal aku lebih dulu berbelok ke arah kiri, sudah kubilang ia harus mengikutiku, kan! Aku mencekal tangannya. "Lo budeg ya?" geramku.

Ia menghentakkan tanganku dan cekalan terhempas begitu saja. "Lo nggak punya etik-"

"Gue udah bilang buat lo ikutin gue! Lo yang nggak punya etika!" Belum selesai ia mengucapkan kata, aku sudah lebih dahulu menyerobot makiannya.

Tanpa sadar kami menjadi pusat perhatian banyak orang, seluruh pasang mata mengarah ke arahku dan Gilang. Tiba-tiba Gilang menyeret tanganku entah menuju ke mana.

Di pojokan dekat dengan ruang laboratorium yang tengah sepi, Gilang menatapku penuh intimidasi. Ia menghempaskan tanganku begitu saja dan tubuhku sedikit oleng.

"Lo punya masalah hidup apa sih sama gue? Bukannya kemarin gue udah bantuin ngerjain tugas-tugas lo itu? Gak ngerti caranya berterima kasih dan balas budi?! Malah lo nyari gara-gara kayak gini!" maki Gilang.

Aku terpancing emosi. "Gue sangat berterima kasih karena lo udah mau bantuin gue ngerjain tugas, tapi gara-gara bantuan lo kemarin gue jadi dimusuhin sama anak sekelas dan ribut sama Yura! Asal lo inget juga, semenjak gue ketemu lo dengan lo nyuruh adkel waktu itu, lo ujung tombak awal mula semua masalah yang terjadi di hidup gue!"

Gilang tersenyum sinis. "Lo itu selain bego, BEGO BANGET! Ternyata juga gak bisa berterima kasih dan nggak menghargai bantuan orang lain!" katanya sambil tersenyum miring.

Plak!

Dadaku nyeri. Sakit hati. Aku menampar pipinya dengan keras dan tanpa terasa satu tetes air lolos dari pelupuk mataku.

••o••


AKSARA HILANG MAKNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang