“Aku bukanlah sosok yang mahir berbohong tentang perasaan, tetapi aku adalah pengecut tuk menyatakan.”
-Nesa Gladys•••
“Gue nggak bisa ikut weekend atau liburan, Des,” balasku pada orang yang saat ini tengah meneleponku di seberang sana, sembari menghentikan mobilku di pinggiran jalan. Desi Mayangsari adalah sahabat dari masa kecilku dulu, kini kami dipertemukan kembali di salah satu perguruan tinggi di Ibu Kota Jakarta, aku dan Desi juga mengambil jurusan yang sama, yaitu Manajemen.
Sejak dibangku menengah pertama, kita memiliki harapan yang sama. Harapan tuk kembali ke jenjang menengah atas yang sama serta liburan kelulusan tuk merayakan pencapaian kita masing-masing. Namun, harapan kita harus sirna saat Ayah dan Ibu Desi pindah ke luar kota, kita tidak bisa bersama lagi, untuk menghubunginya saja aku begitu kesulitan. Dan, di saat kita sudah dipertemukan, aku sudah bukanlah orang yang memiliki banyak warna, aku adalah warna monokrom, hitam dan putih yang warnanya sangat membosankan. Berlibur bukan menjadi tujuanku, keceriaan dan kebahagiaanku sudah diambil oleh banyaknya luka. Maka aku memilih tuk tidak menerima ajakannya.
Liburan atau weekendku adalah waktu berkunjungku ke pusara milik Adik serta Ayahku juga. Di sana aku ingin mengelus batu nisannya, menyirami air, memberikan bunga terindah serta doa yang tak pernah lekang.
“Nes, tapi-“ Desi berhenti tuk melanjutkan kata selanjutnya, bunyi riuh dan perdebatan terdengar jelas, bahkan suara yang riuh dan berdebat itu sangat familiar bagiku. Suara yang sejak dulu menjadi candu di telingaku, suara yang berirama saat kudengar suaranya yang berat khas miliknya itu.
Namun, aku tak pernah menyangka bahwa suara itu ada bersama dengan Desi. Bahkan, aku saja tidak pernah lagi mendengar suara itu dari dekat, si pemilik suara itu menjauh dariku, meski aku mengejarnya, meski aku mengorbankan universitas yang aku inginkan hanya untuk bisa bersamanya.
“Tuhan … Mengapa ini begitu menyakitkan, kala suaranya terdengar olehku di saat dia bersama sahabat masa kecilku!” Aku tahu, membatin atas cinta adalah hal bodoh, tetapi melupakan apa yang pernah terjadi di masa lalu tentang aku dengan dia, itu adalah benang yang sulit tuk aku putuskan.
“Nes?” panggil Desi dari seberang sana. “Ya,” sahutku yang menahan dada yang berdenyut nyeri yang menyisakan berat di dalam dadaku.
“Sorry-sorry banget, tadi gue itu lagi-“ Aku langsung menyahutinya, “Iya Des, gue ngerti kok, gue juga nggak bisa lama-lama teleponan gini deh, soalnya gue lagi di pinggir jalan, jadi harus buru-buru, udah dulu ya.” Aku tidak mau mendengar kata selanjutnya yang Desi katakan, segera aku matikan sambungan telepon di antara kita.
“Maaf Des, gue bukan nggak menghargai elu, tapi mendengarkan selanjutnya, malah akan membuat luka semakin dalam dan kenangan yang buruk akan terus terbayang-bayang,” tuturku dengan suara lirih.
Kini, aku kembali berpacu kepada jalanan, mengendarai mobil yang Eyang Putriku berikan, mobil yang diberikan Eyang adalah mobil favoritku, satu-satunya teman yang ada di kala aku sudah penat dengan semua yang ada.
Di umurku yang menginjak 17 tahun, Eyang memberikan kado ini sebagai kendaraan pribadiku serta apartemen yang kini aku tinggali sendirian sampai kapanpun. Setiap bulan aku menerima uang bulanan darinya, biaya sekolahku juga dia yang menanggung itu semua. Meski dia adalah Ibu dari Mamaku, tetapi kebaikan serta rasa dan kasih sayang keibuannya masih melekat di dalam dirinya, tidak seperti Mamaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUPUS ✅ (Sedang direvisi)
Chick-Lit[DILARANG PLAGIAT‼️] #Menghindari sebelum terjadi REVISI ADA DIVERSI NOVELNYA, YA! ‼️[SUDAH TERBIT DI PENERBIT EBIZ] ‼️ Kutulis semua kisah yang penuh luka, duka dan harapan yang dihancurkan hingga tak tersisa. Di antara seribu duka, aku memiliki du...