18. Mendapatkan Bukti

32K 3.9K 229
                                    

Update 🎉

Jangan lupa vote dan komentarnya yaa ❤️ yang gak sabar nunggu bisa melipir ke KBM sudah bab 43 🥰

Selamat membaca 💕

🍁🍁

Apa masuk akal seorang laki-laki beristri tiba-tiba mengundang perempuan lain di pagi hari ke rumahnya? Sekalipun perempuan itu hanya seorang teman, bukannya sudah jelas itu tidak beradab. Apa lagi perempuan itu pernah menjadi kekasih─tidak, mungkin sampai sekarang mereka masih sepasang kekasih. Itu sudah jelas dengan obrolan mereka yang diam-diam pernah aku dengar sampai membuat aku memutuskan memilih menikahi Ivander.

Aku melahap bubur dengan perasaan kesal. Mendadak aku tidak bisa menikmati sarapan pagiku. Bukan karena aku tidak bisa memakan bubur ini. Aku terbiasa memakan makanan di luar. Apa lagi ketika akhirnya aku memilih pergi dari rumah dan berjuang dengan isi perutku sendiri.

"Kenapa kamu mendadak mengajak aku sarapan bubur? Kamu sedang mengidam?" tuduh Ardhani yang langsung membuatku mendelik ke arahnya.

"Tidak usah bicara aneh-aneh. Jangan sampai sendok ini pindah ke kepala kamu."

"Sadisnya, padahal aku cuma tanya."

"Aku sedang tidak ingin di tanya."

"Kenapa begitu? Ah, kamu sedang bertengkar dengan Ivander," tebaknya.

Mengabaikan ucapan Ardhani, aku kembali melanjutkan sarapan buburku yang baru aku makan beberapa suap.

"Sepertinya benar," ujar Ardhani. "Kalian baru menikah tapi sudah saling bertengkar."

"Berisik."

Ardhani berdecak. "Begini Kakak Ipar. Aku tidak bermaksud menggurui. Tapi seharusnya kamu tidak pergi keluar hanya untuk menjauhi Ivander."

Aku menatap Ardhani kesal. "Memang siapa yang menjauhinya? Aku keluar mengajak kamu memang murni untuk sarapan pagi."

"Tidak masuk akal," sahut Ardhani. "Ivander sudah menyiapkan sarapan pagi. Aku tahu karena tadi dia masih memakai apron di tubuhnya. Kenapa kamu tidak sarapan di rumah saja kalau memang tidak sedang menjauhi dengan Ivander."

Aku mendengus sinis. "Kamu pikir aku mau sarapan dan satu meja dengan dua bajingan yang mungkin sekarang sudah melepaskan pakaian mereka."

Ardhani tersedak bubur yang sedang di makannya. Bahkan sekarang aku diperhatikan beberapa orang yang sedang mengantre membeli bubur. Bahkan penjual bubur sempat melirikku dengan ekspresi terkejut. Sial, kenapa juga mulutku ini tidak bisa di filter.

"Apa yang baru saja kamu katakan Kakak Ipar?" tanya Ardhani.

"Menurutmu apa?"

"Aku tidak tahu. Tapi ungkapan kamu itu sungguh vulgar."

"Masa bodoh."

Ardhani masih tidak mengerti dengan apa yang baru saja aku katakan sampai ekspresinya mendadak berubah menjadi terkejut.

"Jangan bilang di dalam ada Hera?"

Aku berdecih. "Menurutmu?"

"Gila. Apa kamu serius?"

"Bukannya kamu sendiri sudah tahu," omelku. Kesal mendengar Ardhani terus saja bertanya.

Ardhani mendengus. "Mana aku tahu. Aku baru bangun dan langsung diseret keluar. Lihat, aku bahkan masih pakai boxer sepaha. Untung aku tampan, jadi ini tidak begitu memalukan. Anggap saja pemandangan manis di pagi hari untuk para ibu yang sedang membeli bubur," kata Ardhani, mengedipkan matanya ke arah perempuan muda yang sedang berdiri di depan gerobak penjual bubur.

ReplaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang