33. Ingin punya bayi

33.6K 4.3K 232
                                    

Update 🎉

Jangan lupa vote dan komentarnya yaaa ❤️ selamat membaca 💕

🍁🍁

Berurusan dengan Ivander itu kesialan yang tertunda. Kenapa bisa aku menuduh seperti itu? Memang apa yang aku dapat ketika bersama laki-laki bajingan itu? Di awal pernikahan aku harus dibuat syok dengan perselingkuhannya yang terang-terangan dengan Hera walau mereka tidak mengakuinya. Bahkan Ardhani juga mengaku kalau hubungan mereka sudah berakhir dan aku tidak percaya. Aku bukan perempuan bodoh dengan omong kosong seperti itu, sementara dengan jelas dua orang yang katanya tidak punya hubungan itu masih mengumbar skinship dan kemesraan mereka berdua.

Terus-terusan mengajakku berdebat, menghancurkan waktu indahku di danau dan membuat pertemuanku dengan Hanin dan Ruri berantakan. Dan sekarang. dengan tiba-tiba seorang bayi datang ke rumah kami. Tanpa mau menjelaskan siapa anak ini, laki-laki itu pergi begitu saja meninggalkan si bayi kepadaku.

Dan sekarang, aku harus dibuat sakit kepala karena bayi ini tidak berhenti menangis.

"Kenapa sih? Kamu pipis? Tapi pakai popok kok. Apa jangan-jangan pup?" tanyaku kepada bayi yang sedang telentang di atas tempat tidurku. Dia masih menangis kencang.

Aku dengan cepat membuka popok yang sedang dipakainya. Dengan gerakan geli, aku menengok apa yang ada di dalam sana. Jangan sampai dugaanku benar. Membersihkan pup bayi? Yang benar saja. Dan ternyata Tuhan sedang memihakku, si bayi tidak buang air besar. Tapi kenapa masih saja menangis?

"Kamu mau apa? Mau makan? Tapi kamu masih kecil, memang boleh diberi makan?" tanyaku. Bukan mereda, tangis bayi itu semakin keras.

Aku mencoba menghiburnya dengan gaya aneh dan berharap bayi ini menganggapku lucu lalu setelah itu tangisnya mereda. Sayangnya itu tidak terjadi, dia malah semakin menangis.

"Duh, mau apa sih?" tanyaku, frustrasi. "Ah? Mau susu ya? Susu? Sebentar aku buatkan dulu," kataku. Buru-buru turun dari atas tempat tidur.

Baru saja kakiku sampai di ambang pintu, aku kembali membalikkan tubuhku ke arah bayi yang menangis kencang di atas tempat tidurku. Aku mendesah kesal, kembali ke arah si bayi lalu menggendongnya.

"Kalau aku tinggalkan bisa bahaya. Gimana kalau nanti dia jatuh?"

Aku akhirnya memilih membawa si bayi daripada harus meninggalkannya di tempat tidur, apa lagi dengan posisinya yang sedang menangis kencang. Bahaya jika dia semakin berontak dan malah jatuh ke atas lantai.

Aku mengambil tas yang tadi di titipkan oleh ibunya. Mencari-cari susu di dalam tas. Aku tersenyum puas ketika berhasil mendapatkan botolnya. Kembali mencari akhirnya aku mendapatkan toples yang ternyata berisi susu formula.

Tangis bayi yang ada di dalam gendonganku semakin kencang. Aku yang terkejut mencoba menenangkannya dan buru-buru mengajaknya ke dapur sembari membawa toples susu dan botol susu.

"Sial, berapa sendok yang harus aku berikan? Di sini tidak ada contoh takarannya." Kataku mulai emosi.

Karena tangis si bayi semakin memekikkan telinga, akhirnya aku memasukkan 4 sendok takar susu formula ke dalam botol ukuran 150ml. Entah kelebihan atau kekurangan aku tidak tahu. Aku hanya mengikuti nomor yang ada di botol susu itu, memasukkan air putih pas di garis 4 setelah itu menambahkan 4 sendok susu formula ke dalamnya.

Buru-buru aku mengocoknya lalu memberikannya kepada bayi yang ada di dalam gendonganku. Dan sekejap mata tangisnya langsung reda. Melihat itu aku menghembuskan napas lega lalu menyeka keringat di pelipisku.

"Kalau haus bilang dong," omelku, membawa si bayi ke ruang tengah. Mengambil bantal lalu menidurkannya di atas karpet tebal.

Aku menatapnya dengan perasaan kesal juga lega. Ada sedikit rasa bangga karena aku berhasil membuatnya tenang. Melihat matanya yang semakin sayu membuat aku tersenyum kecil.

ReplaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang