Matahari pagi ini begitu terik, bahkan aku sampai kesulitan untuk membuka mataku di saat tirai kamarku terbuka lebar.
"Maaf Mas, ini salah saya. Saya diminta Ibu untuk membangunkan Mas Ardi," sahut seorang wanita paruhbaya yang sudah berdiri di depan pintu kamarku. Beliau sudah paham dengan sifatku yang begitu jengkel bila diganggu, tetapi apa salahku kali ini?
"Aku bosan di rumah, adakah kegiatan lain, selain mengatur hidupku? Ibu sangat kejam sekali rasanya." Pekikku.
Bi Rahma hanya terkekeh, jujur aku kesal saat ini, tapi Bi Rahma malah tersenyum manis di tempatnya.
"Mas Ardi baru saja sembuh, bagaimana bisa ke sekolah, jika tubuh Mas Ardi saja belum benar-benar pulih. Ingat terakhir kali demam hebat? Sudah, kali ini turuti apa kata Ibu, beliau sayang sama Mas Ardi. Sekarang mandi dan bersiap, Bibi sudah membuatkan sarapan kesukaan Mas Ardi di bawah," ucap Bi Rahma.
Jujur, aku sangat tertolong, biar aku begini Bi Rahma seolah mengerti kegelisahanku. Beliau sangat pengertian, padahal hanya seorang asisten rumah tangga.
Aku hanya mengangguk, lalu bergegas ke kamar mandi. Aku tahu kejadian waktu itu cukup menakutkan untuk ku ingat. Bagaimana tidak? Aku seperti mayat hidup yang tidur dalam rengkuh seorang asisten rumah tangga yang bukan siapa-siapa.
"Bi Rahma! Bilang ke Ibu kalau Ardi akan turun sebentar lagi, bilang sama Ibu kalau Ardi malam ini akan ke rumah dia!" Teriakku dari dalam kamar mandi. Sungguh, aku ingin tertawa kalau Bi Rahma masih mengingat kejadian kemarin sore. Ah! Bodoh sekali aku. Pasti Bi Rahma sudah tertawa sekarang.
"Dia siapa sih, Mas?"
Tuh, kan! Apa kubilang, Bi Rahma sudah mulai menggodaku. Aku pura-pura tak dengar saja. Lagi pula aku tidak punya hubungan dengan dia. Dia siapa? Bidadari? Pramugari? Model? Tidak! Dia hanya seorang gadis manis yang tak sengaja hadir dalam kehidupanku. Namun membawa semangatku kembali memuncak. Eh... bukan! Aku tidak jatuh cinta, aku hanya ingin mengatakan kalau dia manis, itu saja!
Aku yakin aku sudah bersih dan wangi, tapi rasanya ada yang aneh dalam diriku. Bahkan saat aku baru selesai mandi pun, rasa gatal itu kembali mencuat, membuatku tak kuat untuk menahan rasa gatalnya.
Aku lupa kapan tepatnya terakhir kali aku berlibur, hanya ingat pergi ke puncak bersama Rasyid, teman sekelasku. Aku sudah merasakan ini setelah kembali dari puncak. Awalnya Aku pikir ini hanya ruam biasa. Aku mengabaikannya, tapi lama-kelamaan ruam itu melebar, bahkan tubuhku semakin terasa pegal. Apakah benar? Rasanya mustahil.
Maka detik seperti membawaku pada kenyataan, ada bakteri dalam tubuhku yang kini sedang bersembunyi. Bakteri nakal yang selalu mengganggu waktu tidurku di malam hari, sama seperti tadi malam.
"Sial! Aku harus bagaimana ini? Memberitahu Bi Rahma? Pasti Bibi sedang sibuk bersih-bersih,"gerutuku. Aku sudah tak tahan. Aku melihat ruam di lengan kiriku yang mulai kemerahan.
Aku pun melangkah meninggalkan kamarku setelahnya. Baru saja aku menutup pintu kamar derap langkah kaki membuatku tersentak sejenak. Aku melihatnya dengan wajah bingung sekaligus bertanya-tanya mengapa dia terlihat begitu kelelahan?
"Ada apa?" Aku terpaku sejenak, aku melihat sepatunya yang mulai usang.
Aku tahu dia ini ingin meminta sesuatu dariku. Aku pun kembali melanjutkan langkahku, tak peduli dia memanggilku Kakak sialan. Toh, dia juga Adik yang nakal.
"Mas Yam! Gue belum selesai ngomong!"
"Aku tidak dengar!"
"Itu lo jawab, Mas! Tunggu!"
Aku terkekeh, sambil menuruni anak tangga. Dia terus berceloteh di belakangku. Dia ini sangat tak sopan!
"Mas, pinjem sepatu. Punya gue jebol nih, Mas? Boleh, ya?"
Aku sudah tahu, tapi aku tak mau tahu. Padahal dia baru mendapat hadiah ulang tahun dari Ibu dan Ayah kemarin, kenapa tidak meminta pada mereka saja? Aku pun berhenti sebelum langkahku benar-benar pada lantai dasar.
"Nggak! Mas sudah bilang, jangan sentuh barang milik Mas, ngerti?"
"Pelit banget! Awas nanti gue bilangin Ibu baru tahu rasa!"
Aku tahu ini salah, harusnya aku tidak bersikap ketus pada adikku sendiri. Dia memang masih kecil, usia kami hanya terpaut sekitar dua tahun saja. Tapi tingkahnya selangit, membuatku kesal setiap hari.
"Bagus kamu, ya? Begini caramu bersikap pada adikmu?"
Aku tersentak saat Ibu baru saja keluar dari dapur dengan rambut di cepol ala ABG. Aku pun menghampirinya. Melihat Ibu yang biasa saja tanpa make up rasanya sangat cantik. Aku pun tersenyum, sebelum aku membalas ucapan Ibu yang sedari tadi menatapku tak suka.
"Aku hanya mengatakan apa yang aku ingin katakan, apa salahnya? Ibu tersinggung dengan ucapanku?"
Aku hanya bisa menghela napas, bahkan aku tak yakin kalau Ibu akan bersikap manis walau aku menjawabnya dengan sedikit ketus.
"Anak baru kemarin sudah berani melawan, apa pernah Ibu mengajarkanmu tidak sopan?"
Aku lelah sebenarnya dengan sikap ibu, tapi aku juga tak suka bila aku terus-menerus dimusuhi oleh Ibuku sendiri. Aku benci situasi di mana Ayah mulai tak peduli dengan keluarga kami.
"Maaf. Ardi tidak bermaksud untuk membuat Ibu marah, tapi Ardi mohon sama Ibu, Ardi juga anak Ibu, bukan cuma Hardi. Ardi juga butuh Ibu," ucapku lirih.
Aku menundukkan kepalaku saat aku mengatakan kalimat itu. Sejak dulu Ibu selalu mengatakan kalau aku hanya pembawa kehancuran, padahal kematian Ayah bukan salahku.
"Diam! Kamu itu harusnya bersyukur, sudah untung Ibu tampung di sini," ucap Ibu penuh penekanan.
Hatiku terhenyak mendengar semua itu. Setiap kali Ibu pulang ke rumah, Ibu selalu menatapku tak suka. Aku anak sulungnya, kan? Mengapa aku dianggap seperti orang asing oleh ibuku sendiri?
"Kamu bukan anak saya!"
L Y A M
Horeeee selesai, mari tinggalkan jejak 😊
Jangan katakan apa-apa pada semesta, karena ini masih rahasia sudah siapkah untuk menyapa dan menyelam bersamaku? Mari perkenalkan akuKenalan sama Mas Yam, Yuk.
Lyam MahardikaNote sehubungan dengan cerita ini, akan ada beberapa point tambahan scara random yang akan kalian temui.
Salam cinta Lyam 👀
Publish, 12 Maret 2021
Re-publish, 20 Februari 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Lysme (SELESAI)√
Teen FictionLyam Mahardika, begitu lengkap dan indah ketika terpampang jelas di sebuah papan nama rumah sakit. Aku tahu ini tak adil, apalagi untuk seorang Rahardiaka Mahesa. Saudaraku yang selisih dua tahun denganku. Bagi mereka aku lemah, bagi mereka aku...