16. Sampaikan Pada Ibu Kalau Hati Ini Masih Tetap Sama.

22 1 0
                                    

Kalau suatu hari aku kembali, mungkin bukan menjadi diriku yang saat ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau suatu hari aku kembali, mungkin bukan menjadi diriku yang saat ini. Aku ingin terbang bebas dan berhenti pada rumah yang tepat. Tapi, jika rumahku sudah tiada, maka kebebasan itu akan berhenti sebelum rumahnya kembali. 

Lyam

Malam ini kedua mataku sulit sekali untuk terpejam, barang sebentar rasanya berat karena isi kepalaku yang terlalu berisik. Sejak pingsan sore tadi, dadaku terus berdegup dengan kencang. Seakan lepas dari tempatnya. Padahal, aku yakin apa pun yang Ibu katakan tidak sepenuhnya benar.

Selama ini Ibu hanya marah sebentar, lalu baik dan pasti akan menatapku kembali. Aku selalu melontarkan itu dalam hati. Namun, penantian itu seolah hanya dongeng dengan judul yang berbeda. Selain tokoh, ternyata alurnya pun bisa berubah kapan saja.

Aku ingin sekali memeluk Ibu dalam waktu yang lama, bercerita tentang banyak hal, lalu saling bercanda sambil bersantai di depan teras rumah. Nyatanya, Itu hanya sekadar kayal dan tak akan pernah jadi nyata. Semua itu hanya sebatas mimpi yang terlalu tinggi hingga akhirnya terjatuh dan sulit untuk bangkit lagi.

Kulihat Hardi yang tertidur di sebelah kiriku, sementara Bi Rahma memilih tidur di ruang terpisah dengan beralaskan kasur tipis yang dibawakan oleh Hardi dari rumah Ayah Diaz.

"Maaf jika aku terlalu kaku padamu, Di. Tapi tolong, berhenti menyiksaku dengan sebuah kata yang penuh harapan itu."

Kataku sambil mengusap rambut hitam milik Hardi. Anak itu tampak damai dalam tidurnya. Bahkan dia rela berbagi kasur denganku. Aku terbangun di tengah malam, ketika kulihat jam digital pada layar ponselku yang disimpan rapi di sebelah kananku.

"Mas kenapa bangun?" tanya Hardi.

Biar kedua matanya masih terpejam, tapi suara serak anak itu berhasil membuatku sedikit terkejut. Aku yang semula mengusap rambutnya pun berhenti dan kembali membenarkan posisi duduk yang perlahan sedikit merosot. Bersandar pada tembok, sedikit membuat punggungku terasa kebas.

Aku pun menoleh, menatap wajah Hardi, kedua matanya sedikit terbuka, sebelah tangannya menggenggam sebelah tanganku. Aku tidak bisa menolak genggaman tangan Hardi yang cukup hangat dari pada telapak tanganku sendiri.

"Dingin, Mas. Kenapa lo bangun?"

"Aku ingin melinatmu saja. Apa itu salah?"

Hardi terkekeh, ia pun membuka lebar kedua matanya lalu melirik ke arahku. Aku pun demikian. Senyum manis di wajahnya tak pernah terlihat sejak kemarin.

"Jangan dipikirin.  Isi kepala lo itu cuma Ibu. Kalau dia sayang sama anaknya, dia pasti datang kok."

"Aku sudah lelah berharap, bisa kita lupakan saja?"

"Lupakan soal apa, Mas?"

"Hubungan kita."

Aku bisa melihat wajah Hardi yang begitu berbeda beberapa hari terakhir. Kedua matanya menatap tajam ke arahku,  aku tahu tatapan tajam itu merupakan kemarahannya. Aku pun berdeham, berharap ucapanku tadi tidak akan dibahas lagi, sayang sekali, Hardi bukanlah anak kemarin sore yang mudah ditipu.

Anak itu memilih bangun dan duduk dalam posisi kedua kaki dilipat dengan sebelah tangannya masih terus menggenggam sebelah tanganku. 

"Hubungan kita? Lo pikir melupakan itu gampang? Enggak, Mas."

Aku menghela napas pelan, memang salah telah memulai percakapan sensitif yang belakangan aku pun merasa itu tidak adil. Kedua mata Hardi mulai memerah, jelas sekali kalau anak itu akan menangis. Dasar payah.

"Aku hanya berkata, belum tentu sungguhan, kan?" Hardi menggeleng.

Anak itu langsung memelukku dalam posisi duduk. Cukup terkejut sebenarnya, tapi aku hanya bisa mengusap punggungnya yang bergetar. Dia menangis, itulah kenyataannya.

"Gue ini adik dari Lyam. Mana bisa gue jauh-jauh dari lo. Di sekolah aja cuma bisa nempel sama lo, walau temen gue banyak."

Aku mengangguk, itu benar. Hardi jarang sekali berkumpul bersama teman-temannya. Anak itu  justru datang ke kelasku sambil membawa camilan yang dia beli di kantin. Lucu memang, aku pun cukup bangga padanya. Biar pun kami sering bertengkar, tapi Hardi selalu mampu membuatku terkejut dengan caranya.

"Kamu ingat, ketika ingin meminjam sepatuku?" tanyaku.

Hardi mengangguk, dia ini manja tapi gengsi, itulah yang sulit aku hilangkan dari sosoknya.

"Iya, tapi lo nggak kasih pinjam, habis itu lo dimarahi Ibu."

Aku mengangguk. Benar. Lagi dan lagi, apa yang Hardi katakan tidak pernah salah. Anak itu mengingat segalanya tentangku. Tentang hidupku yang menyedihkan. Tentang diriku yang tak tahu sampai kapan akan bertahan. Rasanya begitu sesak seakan oksigen di bumi benar-benar habis.

"Aku Lyam, Aku Ardi, aku juga anak Ibu.  Tapi, aku bukan bagian dari salah satunya. Aku hanya bakteri yang merayap membuat penyakit baru bernama hati."

Aku diam sejenak, mengolah kata ternyata tak semudah apa yang kupikirkan. Aku menatap lurus pada tembok putih yang ada di depanku. Kemudian aku menghidup napas dalam, dan melanjutkan ucapanku.

"Hati ini masih tetap sama, tapi isinya sudah berbeda. Aku hanya Ardi yang Hardi kenal, bukan Lyam yang Rahardika tahu."

"Jangan bilang begitu, lo itu anak Ibu. Kita lahir dari rahim yang sama. Darah kita sama."  Aku menggeleng tepat ketika Hardi mulai tenang dan kembali menatapku.

"Aku anaknya, iya. Hanya status, tidak lebih. Apa aku masih diharapkan?" Aku menggeleng sekali lagi.

"Aku tidak tahu. Karena sejak dulu, anak Ibu hanya Hardi, Lyam Mahardika tidak ada dihati Ibu. Hati Ibu hanya untuk Hardi."

Hardi menggeleng, anak itu sudah menangis, jelas sekali sejak tadi dia mengusapnya dengan kasar. Aku terkekeh.

"Ibu gue, Ibu lo juga."

Aku mengangguk, dari pada membuatnya semakin menangis. Aku tak ingin tidur Bi Rahma terganggu karena suara Hardi yang sebentar lagi berteriak memarahiku. Pusing rasanya kalau dia sudah berteriak.

"Tidur sana, aku masih belum mengantuk, besok kamu sekolah," kataku, Hardi menggeleng.

"Kenapa?"

"Gue mau mastiin lo masih napas, jadi lo tidur duluan, nanti gue susul."

Dia ini benar-benar konyol, sudah jelas aku masih bisa mengobrol dengannya, malah ditunggui seakan aku akan mati sekarang. Aku hanya menggeleng, lalu merebahkan tubuhku yang mulai sedikit pegal. Sesekali aku menatap Hardi dengan senyum simpulku.

"Tidur, Mas. Kenapa lihat gue terus?"

"Hari ini aku akan terus memandang wajahmu sampai puas. Jika suatu saat nanti cahaya telah lepas dan berubah gelap, sepertinya aku tak akan bisa melihatmu lagi."

"Mas!"

Aku terkekeh, kemudian mulai menekan. Entah kenapa hatiku selalu berkata aku akan mati besok. Padahal, sejak kemarin selalu baik-baik saja walau Ibu berkata tak baik padaku. Apa setelah panggilan telp terakhir tadi, dan semua isi kepalaku berhamburan mencari jalan keluar?

Tidak. Aku salah sepertinya. Aku terpejam, tapi hatiku merasa gelisah. Aku yakin Hardi masih belum tidur. Meski aku ingin sekali membuka mata untuk memastikan, nyatanya memang sudah sangat berat dan hanya suara samar yang terdengar.

"Aku di sini, tapi bukan untuk Ibu."

🥀🥀

Hallo kembali lagi sama Lyam, terima kasih telah berkunjung salam manis Lyam. 🥰🥰🥰
Publish, 17 Maret 2024

Hello Lysme  (SELESAI)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang