Sudah dua hari setelah bertengkar dengan Ibu, aku tidak pulang ke rumah. Aku memilih mengikuti perintah Hardi yang menyewa kontrakan kecil dekat dengan sekolah. Beberapa baju yang dikemas saat pulang dari rumah sakit pun sudah dirapikan dengan baik oleh Bi Rahma. Aku hanya bisa menatap miris ke arah Hardi. Anak itu juga tak ingin kembali sebelum Ibu memintanya.Harusnya Hardi tak bersamaku, tapi keras kepala anak itu selalu membuat Ibu malas berdebat dan membiarkannya melakukan sesuka hati. Jika saja Ibu bisa melakukan hal yang sama padaku, nyatanya semua itu hanya sebatas angan tanpa kata atau usap lembut. Aku benci situasi malang yang terus membuatku serba salah.
Sejak keluar dari rumah sakit, aku tidak bisa melakukan apa pun sendiri, selalu dibantu dengan alasan tidak boleh terlalu lelah. Walau kebenarannya aku memang lemah, dan untuk sekadar mengangkat gelas pun tanganku begitu payah. Aku tidak seperti dulu, itu yang aku rasakan saat ini.
Duduk melamun memikirkan perkataan Ibu membuatku lupa semuanya, termasuk nama orang-orang yang pernah dekat denganku.
"Mas?" panggil Hardi. Anak itu duduk tepat di sebelahku.
Aku menyipitkan kedua mataku agar dapat melihat penampilan Hardi yang jelas masih mengenakan seragam. Semalam anak itu sempat pamit untuk pulang mengambil beberapa pakaian serta seragam dan buku pelajaran. Meski aku sedikit khawatir, tapi Hardi kembali meyakinkanku untuk tetap tenang bagaimana pun keadaannya nanti.
Aku mengangguk saja saat adikku mengatakannya, tetapi kedatangan Ibu yang mendadak membuat seluruh tubuhku lemas seakan tak bertulang. Belum lagi tatapan tajam yang dilemparkannya padaku, membuat degup jantungku berpacu lebih cepat.
"Hentikan dramamu ini, saya hanya akan mengatakannya sekali setelah ini, terserah."
Dengan jari telunjuknya Ibu menunjuk ke arahku. Tatap kebencian selalu terlihat jelas kala Ibu mulai bersuara. Cibir manis terdengar menyakitkan selalu mampu membuat hatiku lemah. Air mata seakan tak lagi mempan untuk mengatakan betapa rapuhnya diriku, tetapi getar tangan saat aku mendekat dan mencoba untuk menyentuh lengan Ibu, seketika dihempas kasar begitu saja.
"Jangan pernah berani menyentuh, walau seujung kuku. Keinginanmu hanya akan menjadi angan. Saya, sangat berharap kamu pergi.
Aku berusaha keras untuk tidak mendengarkan apalagi menatap mata tajam Ibu. Jujur aku takut, tapi hatiku yang sakit. Aku kuat menurut diriku sendiri, bagi mereka yang menatapku kini jauh berbeda karena keadaannya memang tak sama.
"Dengar Lyam, saya tidak pernah sedikit pun menginginkan kelahirkanmu. Itu semua hanya kesalahan. Ayahmu yang miskin itu sangat menyusahkan dan berakhir kematian."
Katakan padaku jika aku salah dengar, katakan padaku jika aku memang buta untuk melihat kasih sayang Ibu. Nyatanya, apa yang Ibu katakan selalu berhasil membuat seluruh tubuhku nyaris jatuh ke lantai. Jika saja Hardi tak datang tepat waktu, mungkin aku sudah menjadi objek menjijikan untuk Ibu lihat.
"Mas?" panggil Hardi.
Anak itu sama sekali tidak jijik saat mengusap punggung tanganku yang kurus katanya. Sesekali ia memijat jemariku dengan pelan, seraya membuatku relaks untuk sesaat.
"Gue pulang ke rumah Ayah tadi."
Aku mengangguk, berusaha mendengar dengan suara samar perlahan mulai menghilang.
"Ayah bilang lo tinggal sama kita aja di rumah Ayah Diaz, lo mau?"
Aku menggeleng, tentu itu bukan rumahku, aku tak berhak atas semua yang ada di sana walau hanya sebuah kasur. Aku tak berhak, karena itu milik Hardi, hanya Hardi yang berhak atas segalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Lysme (SELESAI)√
Teen FictionLyam Mahardika, begitu lengkap dan indah ketika terpampang jelas di sebuah papan nama rumah sakit. Aku tahu ini tak adil, apalagi untuk seorang Rahardiaka Mahesa. Saudaraku yang selisih dua tahun denganku. Bagi mereka aku lemah, bagi mereka aku...