03. Jarum Suntik Yang Mematikan.

140 17 45
                                    

"Maaf Mei, Mas Yam nggak bisa datang. Dia demam lagi."

"Mas Yam masih sakit, Sa?"

"Um. Iya, Mei. Mas Yam demam, sekarang lagi istirahat, dia bilang sorry nggak bisa ketemu, mungkin lain kali?"

"Ya udah nggak apa-apa, bilang sama Mas Yam, cepet sembuh."

"Sip."

Aku masih bisa mendengar desah napas berat Hardi, saat memberitahukan Meila melalui ponselku. Dia begitu cemas ketika Bi Rahma memberitahukan keadaanku yang kembali demam.  Bahkan, saat Bi Rahma keluar dengan terburu-buru, Hardi malah berjalan ke sana,ke mari bagai setrikaan.

Aku yang melihatnya pun lelah, sampai akhirnya rasa kantuk yang sedari tadi aku tahan mulai membawa keasadaranku perlahan masuk dalam dunia mimpi. Aku juga masih bisa merasakan sentuh lembut Hardi yang menyelimuti tubuhku.

"Mas Yam cepet sembuh dong, gue males liat lo ngeringkuk kayak gini, nggak asik!"

"Kalau aja Mas Yam tahu, kemarin Ayah datang ke sekolah."

Bisik suara Hardi membuatku kembali membuka mataku. Aku menahan tangannya sejenak, ia pun kembali duduk. Hardi diam sejenak sebelum aku melontarkan pertanyaan padanya.

"Mas Yam kenapa bangun lagi?"

"Jawab pertanyaan Mas, Ayah ke sekolah ada apa ?"

"Mas Yam istirahat aja lagi, nanti demamnya nggak sembuh lho.", ucap Hardi kemudian melepaskan tanganku dari tangannya. Hardi justru menggenggam jemariku sambil diusapnya begitu lembut.

"Ayah cuma minta gue tinggal sama Ayah." katanya. Aku terdiam cukup lama, di sana aku bisa melihat sesuatu yang Hardi sembunyikan dariku. Anak itu tidak terlihat sedang baik-baik saja. Aku tahu Hardi sedang menahan sesuatu namun, sulit untuk dikatakan.

"Kamu bohong, kan Di?"

Hardi menggeleng kuat lalu mengusap lenganku. Aku tak tahu apa yang Hardi pikirkan, tidak ada senyum yang terlihat di wajahnya.

"Nggak Mas,  gue kapan sih pernah bohong sama lo?" 

"Kamu nggak pernah ngomong apa-apa ke Mas kemarin-kemarin."

"Nggak apa-apa kok. Udah ya, gue mau ke kamar, banyak tugas nih. Bye Mas, nanti kalau ada apa-apa panggil gue ya."

Aku hanya mengangguk saat Hardi bangkit dan mulai melenggang pergi meninggalkan kamarku. Dia begitu lesu aku tahu itu. Aku tahu kalau Hardi sedang berbong padaku. Setelah Hardi benar-benar pergi, aku pun kembali duduk sambil bersandar pada kepala ranjang tempat tidurku. Ku pejamkan mata sejenak, memikirkan ucapan Ibu saat sarapan sebelum memilih pergi tanpa mengatakan apa pun lagi padaku.

Sejak dulu aku hanya tahu Ibu dan Ayah baik-baik saja. Sejak dulu aku hanya tahu kalau Ayah biasa-biasa saja. Namun, kata biasa-biasa saja yang aku lihat adalah baik, tidak sama seperti yang terjadi saat Ayah memutuskan untuk pergi, karena Ibu terlalu sibuk dengan urusannya yang tak tahu waktu.

Awalnya aku masa bodo dengan pekerjaan Ibu yang selalu menjadi prioritasnya. Ibu juga selalu mengatakan semua yang dilakukannya demi keluarga, demi anak-anak dan demi kehormatan. Namun, apa yang Ibu katakan tidaklah sesuai kenyataannya.

Terakhir kali aku melihat Ibu pulang sangat larut, bahkan aku bisa mendengar Ibu dan Hardi berdebat. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi aku bisa melihat wajah Hardi saat itu sangat kesal dan marah ketika Ibu meminta Hardi berhenti membicarakan yang tak ku ketahui

"Kalau kamu mau pergi ke rumah Ayahmu, pergilah! Ibu tidak akan melarang, silakan pergi."

Aku hanya mendengar suara Ibu yang begitu melengking saat mengatakan kalau Hardi akan pergi dari rumah. Pikiranku saat itu tertuju pada satu sosok yang selalu mengatakan kalimat sampah di depanku ketika bertemu.

Hello Lysme  (SELESAI)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang