13. Sejauh Ini, Ardi Yang Menunggu Ibu

27 3 0
                                    


Aku tahu ini tidak benar, membiarkan Hardi pergi dengan penuh kekesalan karena diriku terlalu keras kepala untuk sesuatu yang sama begitu mustahil terkabul. Mengubur dalam-dalam harapan hanya sebatas angan.

Aku terlalu lelah jika terus berdiri tanpa berpijak. Bergerak tanpa bernapas dengan lega. Memandang, tapi seakan buta. Aku hidup seperti pohon, menetap sesaat lalu tumbang. Aku hanya bisa menunduk sebagai jawaban atas semua tuduhan juga tatapan tajam ibu.

Aku bukan lelaki lemah, itu yang selalu aku dengar dari Hardi. Adik kecil penuh misteri. Adik kecil yang juga sama sepertiku. Dia hanya anak remaja manja tak lepas dari pengawasan. Dan kini, anak itu memilih menetap di sisiku, menemani setiap langkah kaki yang kulalui.

"Minum."

Aku tersentak, saat sebuah gelas berisi air mineral terulur di depanku. Aku menoleh menatap wajah kesal Hardi yang masih sama seperti saat ia keluar beberapa waktu lalu.

"Ayah datang ke sini, malam nanti. Katanya, Ayah datang bersama Ibu. Gue harap lo nggak sakit hati nanti, kalau semisal Ibu bilang aneh-aneh."

Aku menatap lekat wajah kesal adikku, berharap dia tidak bohong meski aku tahu itu hanya sebuah gurau semata. Biar bagaimanapun, aku tetap senang mendengarnya. Membuat seluruh tubuhku seketika pulih dengan cepat. Namun, beberapa detik berikutnya, wajah kesal itu berubah sendu memilih menunduk sambil menatap lantai putih di bawah sana.

"Ada apa?" tanyaku pelan.

Aku bisa melinat bagaimana wajah Hardi walau samar, tapi aku yakin wajah itu  sama sekali tidak menunjukkan kebahagian yang sama seperti biasa.

"Ibu."

"Iya, katamu Ibu akan datang bersama Ayah, kan?"

Hardi langsung menggeleng, entah sudah jam berapa sekarang, kamarku yang tertutup membuat suasana kamar menjadi tenang dan begitu sunyi.

"Kamu kenapa Di?"

Anak itu terus diam, menggeleng beberapa kali sebagai jawaban.

"Kamu di sini? Bagus sekali, ya. Menghamburkan uang saya dan berleha-leha seperti raja."

Sontak membuat kedua mataku membulat sempurna ketika suara pintu yang terbuka memperlihatkan sosok wanita dengan bergelar Ibu, katanya.

"Ibu?" panggilku pelan.

Pandang mataku yang terkadang kabur membuat wajah cantik Ibu tak terlihat. Beberapa kali aku mengusap kedua mataku lalu kembali menoleh ke arah pintu yang masih terbuka di sana.

"Cih. Bahkan saya muak mendengar sapaan itu. Walau kamu anak saya, tapi bukan berarti kamu berhak memanggil saya dengan sebutan itu. Tidak pantas sama sekali."

"Tapi, Bu. Ardi rindu Ibu."

"Rindu katamu?"

"Ibu boleh benci Ayah. Ibu boleh tak suka pada Ayah. Tapi, apa Ibu tidak ingin melinat Ardi sedikit saja? Ardi putra Ibu, kan? Ardi anak sulung Ibu."

Aku bisa merasakan hela napas berat yang ibu embuskan, keterbatasan pandanganku membuat semua semakin kacau. Jangankan  untuk turun dan melangkah mendekati Ibu. Bahkan untuk sekadar duduk pun aku masih butuh bantuan.

"Kamu memang anak sulung saya. Tapi, hanya sebatas status bukan ikatan. Darah saya memang mengalir di tubuh lemah itu. Bukan berarti saya akan peduli denganmu."

"Ibu, tolong bersikap baik sama Mas Yam."

Aku tahu itu suara Hardi. Adiknya sudah berdiri di sebelah ibu, sambil menatap tajam. Aku tahu, aku bisa melihat wajah kesal itu meski sedikit kabur.

"Kamu gila? Apa yang kamu lakukan di sini akan membuatmu ikut sakit, Hardi."

"Ibu yang gila. Maaf kalau Hardi bicara kasar sama Ibu. Tapi, Tolong untuk kali ini, buat Mas Yam senang," ucap Hardi lirih.

Aku bisa mendengar itu meski samae-samar. Tubuhku sudah terlalu lelah, bersandar pada brankar yang semula di tinggikan oleh Hardi. Menatap langit-langit kamar putih dengan lampu remang-remang.

"Senang dalam konteks yang bagaimana? Membuang banyak waktu dan menghamburkan uang?"

"Kenapa di kepala Ibu hanya ada uang, uang dan uang. Sedikit pun Ibu tidaj menatap orang dengan wajah pucat di sana? Kenapa Ibu terus menghakimi dan mengatakan kalau dia  buruk. Dia anak Ibu, Mas Yam, saudara Hardi, Bu."

Aku bisa melirik sedikit, di sana Ibu masih dengan posisi yang sama, enggan masuk dan menatap penuh kebencian kepadaku.

"Berhenti bicara omong kosong. Kamu masih anak kecil. Dan sekarang ikut dengan Ibu pulang ke rumah."

Suara Ibu yang khas tanpa berteriak pun aku bisa merasakan sebuah penekatan di setiap kalimatnya. Sesekali mencuri pandang menatap ke arah Hardi yang menghempaskan tangannya dari tangan Ibu, membuatku sesak sekaligus terharu.

"Kamu pulang saja, Di. Di sini ada Bu Rahma. Aku tidak masalah."

Senyum kemenangan Ibu begitu nyata, seakan pandangan kabur itu sembuh seketika saat Ibu menatap penuh arti ke arahku.

"Dengar. Orang yang kamu sebut saudara itu saja menyuruhmu pulang."

"Aku nggak mau pulang. Lagian aku nungguin Ayah, kenapa Ibu yang muncul sendirian, di mana Ayah?"

"Ayahmu di lobi Ibu melarangnya. Karena Ibu gerah berlama-lama di sini."

"Jika Ibu peduli padaku, maka dengar ini baik-baik Bu. Sejauh ini Ardi yang menunggu Ibu datang dengan lembut menanyakan keadaan Ardi. Tapi, sekarang Ardi tahu siapa Ardi untuk Ibu. Jadi, setelah ini, jangan salahkan Ardi jika suatu hari nanti, Ibu yang menunggu Ardi kembali."

Aku tak bisa menahan diri, berdiam seperti patung saat tatapan tajam milik Ibu terus mengarah padaku. Seakan aku musuh abadi yang sulit terkalahkan. Padahal, sejak tadi aku sudah menahan  kedua mataku agar tidak tertutup sempurna.

Mengingat pusing di kepalaku terus berdenyut, membuat semuanya terasa berat. Menatap langit saja aku tak sanggup, apalagi harus menatap Ibu yang terus menatap penuh permusuhan dari tempatnya.

Sesekali aku memalingkan wajah, memijat keningku sambil meremas selimut dengan sebelah tanganku yang lain.

"Ibu benar. Darah dalam diriku sebagian mengalir darah milik Ibu. Biar pun begitu, Ibu juga harus ingat, kalau aku adalah anak dari seorang manager rendahan yang statusnya dihina begitu ringan oleh seorang wanita karier."

"Jaga mulutmu!"

Aku tak tahu, ucapanku sudah sampai mana, karena Ibu berteriak usai mengengar penuturanku yang membuatnya begitu marah. Mungkin, jika pandanganku bisa jauh lebih jelas, aku akan melihat wajah Ibu yang memerah karena ucapan kurang ajarku. Sedang Hardi, anak itu masih berdiri membisu di tempatnya.

Aku tak ingin menoleh, menahan pusing di kepalaku, membuatku ingin tertidur, tapi rasanya tak sanggup bila Ibu masih berada di kamarku dengan sorot mata membunuh.

"Aku bicara soal fakta. Di mana  seorang anak usia dua tahun menangis menatap penuh harap pada cinta pertamanya. Namun, cinta pertama itu justru telah datang membawa pangeran lain yang masih bayi. Apa aku salah?"

*Lyam!"

"Ya? Ibu memanggil nama depanku, tanda kalau kita memang memiliki hubungan sebatas status, bukan ikatan."

Aku tahu itu sangat jahat, tapi hatiku terlalu sakit untuk mendengar semua ucapan Ibu. Sungguh. Aku sama sekali tidak peduli dengan tatapan jahat Ibu padaku, tapi ucapannya sering kali membuat kakiku sulit berpijak terlalu lama. Apa aku salah?

"Jika kamu ingin di sini, terserahat! Ibu akan pulang."

Hanya itu, hanya sebuah kalimat setengah memaksa yang masih bisa kudengar. Tak tahu apa yang Hardi katakan, karena mataku sudah terlalu berat untuk terbuka.

"Ya. Harusnya aku menyusul Ayahku saja."

🍁🍁

Hai, kembali lagi sama Mas Yam. Sudah sebulan lamanya tak datang, terima kasih sudah berkunjung.


Publish, 25 Januari 2024

Hello Lysme  (SELESAI)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang