05. Kenyataan Pahit

87 15 37
                                    

Terlalu lama diam dalam pikiran yang begitu  kelam, membuatku tak yakin dengan apa yang ku dengar dari ucapan Hardi yang bercerita tentang keluh kesahnya.

"Jari Mas Yam nggak pantes buat nyentuh barang haram itu. Inget Mas, lo itu Mas gue, gue juga nggak malu kok jalan bareng walau lo nggak seganteng gue. Nggak masalah! Inget, lo nggak sendiri, ada gue, Rahardika Mahesa, paham, kan?"

Aku hanya diam terpaku memandang Hardi. Suaranya menghentak kesadaranku, membuatku semakin membeku. Tidak seperti biasa, Hardi dan keseriusan yang sering kali tidak sejajar, kali ini berada pada satu garis lurus. Aku benar-benar tidak tau apa yang harus kukatakan padanya. Terlebih lagi aku tengah menahan rasa sakit yang kembali menyentuh bahuku.

Hardi masih duduk di depanku, padahal kelasku mulai ramai, dan aku masih tidak berucap satu kata pun. Meski begitu, aku senang karena secara tidak langsung Hardi telah mengungkapkan rasa sayangnya padaku. Hampir setiap hari dia seperti itu, sampai aku bosan mendengarnya lalu berakhir dengan dia yang kesal padaku.

Ah, aku ingat apa yang membawanya pada wajah serius itu. Tadi, ketika aku akan menyentuh barang pemberian Ibu tempo hari, Hardi lebih dulu menyingkirkannya. Aku tahu Hardi tidak pernah suka jika aku selalu dimarahi oleh Ibu. Aku tahu, diam-diam Hardi menangis saat melihatku berdebat dengan Ibu hanya karena masalah kecil. Tapi Hardi tidak pernah mau mengaku padaku kalau dirinya serapuh dahan kering.

“Gue nggak suka lo terlalu sabar sama Ibu, Mas. Gue nggak suka. Sekali aja lo ngelawan apa yang Ibu bilang. Emang Ibu pernah peduli sama lo? Nggak! Gue gak bermaksud bikin lo jadi anak durhaka Mas, tapi lo gak lupa,kan,kalo gak semua yang Ibu bilang itu logis. Apalagi kemarahan ibu yang suka kaya petasan lebaran?"

Aku terkekeh saat Hardi mengutarakan kalau dirinya sama sekali tidak suka dengan Ibu. Namun, aku tahu diri, Hardi itu anak Ibu dan Ayah Diaz, apa pun yang dia inginkan pasti selalu dituruti, sedangkan aku? Aku hanya belenggu untuk Ibu. Sampai detik ini, Ibu enggan untuk melihatku walau sebentar. Ibu hanya berkata seperlunya, itu pun jika Ibu ingin. Sama seperti kemarin ketika Ibu menamparku, tangannya begitu ringan tanpa peduli bagaimana perasaanku setelahnya. Aku... aku pun ingin Ibu menyayangiku seperti Hardi, namun, apakah itu sulit? Apa aku hanya akan selalu menjadi medan masalah bagi Ibu?

Aku tahu, sebagai anak, aku punya hak untuk angkat bicara atau menyampaikan sesuatu apabila aku tidak melakukan kesalahan, tapi selalu disalahkan. Namun, aku tidak bisa. Aku takut Ibu hanya akan semakin membenciku. Aku hanya menginginkan sedikit kasih sayang Ibu, bukan tenggelam dalam kebencian Ibu.

Saat ini, aku melihat sosok Ibu dalam diri Hardi dengan versi yang berbeda. Dia begitu lembut ketika mengusap jemariku, senyumnya begitu manis, dan tawanya begitu renyah. Kalau dibilang aku kehilangan sosok Ibu, itu memang benar, tapi aku tak pernah merasa kehilangan semangat untuk bertahan bila melihat Hardi. Adikku yang tengil selalu memiliki cara tersendiri agar aku kesal padanya, dan merajuk jika ada maunya.

Aku mendongak saat Hardi berdiri di depanku. Sementara Meila sudah pergi lebih dulu ke kelasnya, meninggalkan Hardi yang masih bertahan di sini. Hardi menatapku cukup lama, sampai teguran Rasyid saja tak didengarnya.

"Makasih, Mas baik-baik aja kok. Sana kamu kembali ke kelas aja," kataku saat aku menyentuh tangannya, barulah Hardi tersadar lalu mengangguk dan pergi tanpa berkata apa-apa.

Pandanganku masih tertuju pada pintu yang dilewati Hardi beberapa menit lalu, hingga akhirnya aku mengalihkan pandangan, dan fokusku pun kembali beralih pada duniaku. Aku tahu sebenarnya Hardi enggan untuk menyentuhku, dia pasti jijik, walau tak nampak di hadapanku. Aku hanya takut berjalan sendirian tanpa siapa pun. 

"Ar? Lo baik-baik aja, kan?" Aku menoleh ke samping, tepat di sebelahku, ada Rasyid di sana.

Cowok itu tampak khawatir ketika  melihatku.  Dia hendak menyentuh ruam di lenganku, namun aku segera menjauhkan lenganku darinya. Aku tidak mau orang lain tertular. Apalagi, Saat ini pikiranku benar-benar kacau, dan aku tidak berminat menambah beban pikiranku dengan membiarkan Rasyid memenuhi rasa penasarannya.

Hello Lysme  (SELESAI)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang