04. Air Laut Yang Kejam

90 15 42
                                    

Dalam menjalani hidup kurang lebih selama hampir tujuh belas tahun, aku hampir saja melupakan sosok Ibu, karena Ibuku yang kurang peduli walau aku ada di sekitarnya.

Sementara Bi Rahma, beliau ada mungkin sebelum aku lahir, yang sudah kuanggap seperti Ibuku sendiri. Bi Rahma begitu ramah, baik, dan sabar. Beliau tak pernah mengeluh dalam menghadapiku, berbeda dengan Ibu yang terkadang marah dan emosi jika melihatku.

Semalam, sebelum aku benar-benar tertidur pulas, aku bertanya pada Bi Rahma tentang masa laluku....

Cerita Bi Rahma dimulai ketika usiaku masih sangat muda, masih sangat kecil untuk memiliki adik. Bahkan dulu aku tak tau apa itu adik. Saat itu aku sedang bersama Bi Rahma di ruang bermainku. Meski aku terbilang susah makan, tapi Bi Rahma dengan sabar membujukku sampai aku pun tak lagi menolak untuk makan walau bukan Ibu yang menyuapiku.

Ibu membawa seorang bayi dalam gendongannya, ketika Bi Rahma dengan telaten mengurusku. Ya, waktu itu aku melihatnya. Aku yakin, pasti waktu itu meski dalam diam aku bertanya-tanya, siapa bayi itu, mengapa Ibu bersamanya, mengapa ibu tidak bersamaku saja.

Aku berlari kecil ke arah Ibu. Belum sampai aku mendekatinya, Ibu lebih dahulu menjauh dan meminta Bi Rahma menjagaku dengan baik. Sementara Ibu dan bayi itu melangkah pergi meninggalkanku yang terdiam di tempatku berpijak.

Aku tahu pasti saat itu Ibu sangat kerepotan, menggendong bayi kecilnya dan barang bawaan yang ada di sebelah tangannya. Aku tahu Ibu juga lelah, bahkan Ibu menginap cukup lama di rumah sakit karena proses kelahiran adikku yang cukup sulit.

Seiring berjalannya waktu, bayi itu tumbuh menjadi anak yang sehat dan tampan. Walau begitu, Ibu tetap acuh tak acuh padaku, bahkan Ibu selalu beralasan jika aku merengek pada Ibu. Ibu selalu bilang banyak pekerjaan yang sangat penting. Aku hanya mengangguk saja, dengan penjelasan Ibu. Bukankah anak kecil harusnya menurut saja?

Tapi, rasanya sangat aneh. Sikap Ibu sangat berbeda sejak kepergian Ayah. Ayah meninggalkan rumah setelah bertengkar hebat dengan Ibu. Kala itu, aku tengah nyenyak tidur ditemani oleh Bi Rahma. Namun, suara Ibu jauh lebih nyaring, disertai dengan suara pecahan piring dan beberapa peralatan dapur yang berjatuhan di atas lantai.

Aku pun terbangun. Aku penasaran dengan suara bising yang berasal dari luar tepatnya di lantai dasar, karena letak kamarku yang berada di lantai dua. Aku berjalan sempoyongan diikuti oleh Bi Rahma di sebelahku sambil menggengam jemari gembulku. Celoteh yang aku lontarkan pun bahkan tak jelas di dengar oleh Bi Rahma. Kaki pendekku berlari sambil menarik tangan Bi Rahma, padahal Bi Rahma sudah memperingatkanku untuk hati-hati, aku hanya mengoceh tak peduli. Sampai akhirnya, suatu kejadian membuat langkahku terhenti di ujung tangga sebelum aku benar-benar meminta gendong pada Bi Rahma.

"Aku kepala rumah tangga di sini! Hargai aku sebagai suamimu, Martha!"

"Halah! Sudah punya gaji berapa kamu, sampai kamu mau saya hargai? Jabatanmu tidak ada artinya. Saya bisa membiayai Ardi seorang diri, simpan saja gajimu, saya tidak membutuhkannya!"

Aku melihatnya dari tempatku berdiri, aku juga mendengarnya, tapi aku tidak mengerti apa-apa. Pertengkaran hebat itu menyebabkan Ayah pergi untuk selamanya, setelahnya Ibu pun kembali menikah lagi. Hingga kehadiran bayi mungil yang diberi nama Rahardika Mahesa ada ditengah-tengah kami.

Rasanya kala itu sangat kelam, kini aku terbangun dari tidur panjangku semalam. Aku masih tak menyangka kalau Hardi pergi begitu saja karena takut aku dekati.

Pagi ini aku merasa lebih segar dari pada semalam. Entah karena tidurku semalam cukup nyenyak atau memang demam semalam benar-benar membuatku tertidur lebih cepat, terlebih dengan pengaruh obat yang aku minum sebelumnya.

Hello Lysme  (SELESAI)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang