Kalau aku menolak Hardi pasti akan jauh lebih marah dari pada tadi, saat kami di sekolah. meski belum menunjukkan raut wajah tak sukana, Hardi terus mendiamiku dan menjawab seadayna. Aku tahu aku salah dan keras kepala, tapi aku tak lagi bisa berbohong untuk mengatakan apa ang aku rasakan saat tangan Hardi mulai mengusap lenganku yang kurus.
Melihat penampilanku yang cukup mengerikan di mata semua orang, nyatanya tidak berpengaruh sama sekali pada Hardi yang terus membuatku seakan orang paling beruntung, karena telah memiliki adik sebaik dan tullus Hardi. Walau selama ini Ibu selalu membedakan kami, tapi Hardi tetap berada di sisiku demi mendukung apa yang aku lakukan.
"Mas, sepertinya Mas beneran harus ke rumah sakit aja, deh. Gue khawatir kalau ruamnya makin melebar ke mana-mana. Pasti itu sakit banget, kan?"
Aku menggeleng, walau apa yang Hardi katakan ada benarnya. ruamnya semakin membesar dan sedikit nyeri bila disentuh. Aku tak ingin membuat keributan dengan menolak permintaan Hardi, aku juga tidak ingin semua teman-temanku menatap penuh selidik seakan aku orang paling buruk.
"Gue telepon Ayah dulu, ya?"
Aku hanya diam, sementara mataku terus menatap ke arah Hardi. Anak itu memang sulit ditebak. Terkadang aku juga heran padanya, sebentar marah, sebentar tertawa, sebentar murung dan begitu saja siklusnya. Hingga aku menemukan sebuah fakta unik ketika aku menatap kedua manik matanya yang indah.
Hardi memang manja, begitu kata Ayah Diaz. Selalu memaksa meski tak dapat dengan cepat. Setidaknya aku tahu, sedikit tentang Hardi yang jarang aku lihat. Anak kecil dengan tubuh yang tinggi itu menjadi sosok remaja bertanggung jawab serta penuh rasa peduli yang tinggi.
"Sebentar lagi Ayah ke sini, gue ke kelas dulu, mau ambil tas juga barang-barang Lo di kelas, tunggu jangan pergi tanpa pamit, lho!"
Iya, aku tahu itu bukan peringatan. Tapi melihat bagaimana Hardi berucap seakan aku penjahat kelas berat yang ditahan dengan tuduhan penuh.
Aku hanya tersenyum, walau keadaannya tak sebaik yang aku pikirkan. Sejauh ini, aku hanya ingin melihat Ibu, bagaimana keadaannya, dan bagaiman wajahnya sekarang.
"Ibu bagaimana keadaannya, ya? Apa Ibu mau melihatku setelah ini? Atau aku harus pergi dari Ibu?"
Aku tak yakin, tapi tangan kiriku mulai kebas dan sulit untuk kuangkat. Rasanya sudah mulai tak nyaman berbaring sedangkan Hardi masih cukup lama untuk kembali.
"Ardi?"
Aku menoleh, ketika ada seseorang masuk ke ruang UKS dan melangkah untuk mendekat.
"Ayah Diaz? Ayah cepat sekali sampai, apa Hardi mengganggu pekerjaan Ayah?" tanyaku.
Raut wajah khawatir kini terlihat jelas di depan mataku, walau tahu, pandanganku sedikit buram, setidaknya aku bisa melihat bagaimana Ayah Diaz datang dan mengulurkan tangannya untuk mengusap kepalaku.
"Hardi tidak mengganggu sama sekali, Ayah ke sini karena khawatir denganmu, Di. Ayah pikir pagi tadi, kamu sudah baik-baik saja," celoteh Ayah Diaz.
Lelaki yang menyandang sebagai Ayah dalam hidupku, kini adalah sosok yang luar biasa. Walaupun aku kurang dekat, tapi beliau selalu memberikan kasih sayang yang sama padaku dengan Hardi. Bahkan, tak ada rasa jijik sedikit pun padaku.
"Kita tunggu dimobil saja, bagaimana?" tawar Ayah Diaz. Aku tak enak, tapi aku juga tidak bisa menolak. Aku pun mengangguk sebagai jawaban.
"Bisa bangun?"
Jujur saja, aku tak sanggup bahkan untuk menggerakkan tanganku. Aku hanya bisa menghela napas pasrah, sebelum akhirnya memberi jawaban dengan menggeleng. Ini bukan kali pertama setelah keluar dari rumah sakit beberapa waktu lalu dengan insiden yang serupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Lysme (SELESAI)√
Teen FictionLyam Mahardika, begitu lengkap dan indah ketika terpampang jelas di sebuah papan nama rumah sakit. Aku tahu ini tak adil, apalagi untuk seorang Rahardiaka Mahesa. Saudaraku yang selisih dua tahun denganku. Bagi mereka aku lemah, bagi mereka aku...