06. Bakteri Menyakitkan

75 16 4
                                    

Mulmed di atas sebagai pemanis chapter ini, selamat menikmati
. . .

Awalnya aku pikir semua akan baik-baik saja. Semua akan berakhir damai dan tidak akan terjadi hal yang aneh padaku. Setelah hampir sepekan berdiam diri di rumah sakit, sore ini aku baru diperbolehkan pulang. Hampir setiap hari Hardi datang bersama Rasyid dan Meila. Mereka tampak senang setiap kali berkunjung. Aku masih belum mengingat siapa Rasyid. Namun Rasyid tak menyerah untuk terus mengingatkanku siapa dirinya.

Aku tak cukup bahagia dengan keberadaan mereka disisiku saat aku dirawat di rumah sakit. Bukannya aku tidak bersyukur untuk kehadiran mereka berdua, hanya saja aku merindukan Ibu. Tapi Hardi selalu mengatakan kalau Ibu tak kunjung pulang sejak dikabarkan, kalau diriku masuk rumah sakit.

Dalam perawatan di rumah sakit, meski sebenarnya enggan, aku meminum obat dengan teratur dibantu Bi Rahma atau Hardi. Namun, belakangan rasa lelah dan nyeri pada sendiku terus berdatangan. Padahal aku yakin kalau obat-obatan yang diberikan padaku adalah resep yang sesuai dari dokter. Tidak hanya nyeri di sendi, tubuhku juga rasanya sangat gatal dan itu sangat menggangguku. Terkadang aku berpikir untuk menyerah jika gatal yang menyerang tubuhku tak kunjung hilang. Gatal ini membuatku benar-benar kesal hingga terkadang aku juga memaki Hardi, jika anak itu banyak bicara padahal dia tak melakukan apa pun.

Sampai sekarang, Ibu tak pernah menjengukku, padahal ada anaknya yang sedang sakit di sini. Yang mengunjungiku hanya Bi Rahma, Hardi, Rasyid, Meila, dan Ayah Diaz. Beberapa hari lalu, Ayah Diaz datang membawa sekantung plastik berisi buah-buahan. Tapi sampai sekarang aku belum menyentuhnya, mungkin sudah habis karena setiap Hardi datang pasti selalu mengambil camilan yang ada di laci lemari milikku.

"Kasihan Mas, dia dianggurin di lemari kaya jomblo." Hardi nyengir dan mengacungkan pisang di tangannya, saat kulihat dia mengupas pisang sambil berjongkok di samping lemari.

Sepi sekali di sini dan aku merasa bosan. Kali ini aku tak tahu harus bagaimana, padahal sejak pagi Bi Rahma ada di sebelahku usai membereskan rumah.

"Mas Ardi butuh sesuatu?" Aku menoleh saat Bi Rahma baru saja keluar dari kamar mandi.

"Telepon Hardi, Bi. Ardi kangen dia kayaknya. Katanya mau jemput kalau sudah pulang sekolah, tapi sampai sekarang dia belum kunjung tiba, apa dia lupa?"

Sejujurnya, apa yang aku lontarkan baru saja, adalah kalimat yang kesekian yang mungkin sudah bosan Bi Rahma dengar. Aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku, rasanya aku begitu takut ditinggal begitu lama, bahkan beberapa kali aku terus menghubungi Hardi sampai anak itu mendumal kesal padaku.

"Mas Ardi tadi sudah dengar sendiri, kalau Mas Hardi masih di sekolah, dia akan datang terlambat, Mas."

Aku pun menunduk membuat Bi Rahma serba salah, rasanya aku ingin menangis sekencang mungkin karena kesal dan bosan.

"Mas, lebih baik Mas Ardi salin baju dulu, Bibi sudah bawakan baju lengan panjang yang bisa Mas Ardi kenakan."

"Aku mau menunggu Hardi datang, Bi. Kapan dia ke sini? Ini lama sekali rasanya," ucapku. Setelahnya aku pun kembali terdiam, lagi-lagi aku seperti orang aneh dengan ucapanku sendiri.

Kali ini Bi Rahma tak menanggapi apa yang aku katakan, beliau memilih duduk di sebelah ranjang milikku sambil mengusap lembut lenganku.

Aku menoleh ke arahnya, membuat Bi Rahma tersenyum. Padahal aku mengharapkan Ibu yang berada di tempat Bi Rahma saat ini. Tapi sekali lagi, rasanya tak mungkin. Hardi telah mengatakan berkali-kali padaku, kalau Ibu pergi dan belum pulang sampai sekarang.

"Bibi bantu Mas Ardi makan buah saja kalau begitu, kasihan buahnya," kata Bi Rahma begitu lembut, aku yang memang lapar pun mengangguk. Lagipula sambil menunggu Hardi datang tak ada salahnya aku memakan buah yang tersisa beberapa biji.

"Makasih Bi," ucapku. Bi Rahma hanya memberi senyum, setelahnya mengambil dua buah pir yang tersisa, lalu mengupasnya untukku. Kebetulan Hardi membawa kotak makan kosong juga pisau berukuran kecil untuk berjaga jika ada makanan yang harus di kupas menggunakan pisau, contohnya seperti buah.

📖📖

Aku tak tahu sudah berapa lama aku tertidur, usai memakan buah, rasanya begitu mengantuk. Padahal aku hanya memejamkan mata beberapa menit saja. Tapi kali ini, di sofa sudah ada Hardi yang sedang asik dengan ponselnya. Anak itu tampak manis dengan balutan kemeja berwarna merah dan jeans hitam favoritnya.

"Eh, Mas Ardi sudah bangun, mau sesuatu Mas?" Aku menggeleng, tak lama pandanganku beralih pada satu tas yang sudah rapi di sebelah Hardi.

"Ardi mau ganti baju, Bi." Bi Rahma tak menjawab, bahkan mengerutkan keningnya ke arahku. Terlihat bingung dengan apa yang aku ucapkan.

"Mas Ardi sudah rapi, kita tinggal pulang saja, Mas Ardi lupa?" Aku yakin Bi Rahma bicara cukup keras, tapi aku tak mendengar apa pun yang Bi Rahma katakan. Tak hanya itu, Hardi yang semua duduk diam, kini telah berdiri di sebelah ranjang milikku.

Aku hanya memandang keduanya saling bergantian. Rasanya benar-benar aneh, secepat kilat pendengaran-ku pergi begitu saja.

"Mas Yam, yuk pulang. Gue punya sesuatu di rumah," ucap Hardi. Dan sekali lagi, telingaku terasa seperti ada yang menyumpalnya begitu rapat, tapi apa? Aku tidak mengerti dengan tubuhku yang akhir-akhir ini membuatku kesulitan dalam hal apa pun.

"Mas? Kenapa bengong? Sini gue bantu turun, takut lo jatuh bahaya nanti."

Setidaknya aku bisa mengerti apa yang Hardi ngin katakan, meski tak bisa kudengar dengan baik. Hardi pun merangkul bahuku begitu erat. Tak peduli dengan kondisiku yang tampak menyeramkan saat ini. Hardi tetap memberi tangannya untuk menuntunku melangkah, tak lagi takut seperti waktu pertama kali mendengar vonis dokter tentang keadaanku.

"Kenapa?" Aku diam melihat Hardi, aku mengerti saat ia menatapku bingung.

"Nggak kuat jalan? Gue ambil kursi roda aja kalau gitu mau?"

"Ngomong dong Mas, gue nggak tahu lo mau apa, gue bingung jadinya."

Rasanya ingin sekali aku menangis, aku melihat Hardi yang mulai kesal padaku karena tak satu pun ucapannya aku tanggapi. Aku masih setengah linglung akibat baru saja bangun tidur, dan menjadi bingung ketika tiba-tiba pendengaranku hilang begitu saja. Karena itu aku diam sejak tadi.

Aku meminta Bi Rahma mengambil ponselku yang berada di atas nakas. Ku genggam erat ponselku, lalu ku pandang Hardi.

"Maaf Di, Mas tidak dengar apa pun yang kamu katakan, pendengaran Mas hilang begitu saja. Tolong katakan melalui pesan teks saja. Kaki Mas juga lemas sekali, tolong ambilkan kursi roda saja."

Setelahnya aku bisa melihat raut wajah bersalah dari Hardi. Anak itu pun meminta Bi Rahma untuk memapah tubuhku yang hampir terjatuh, selagi dirinya mengambil kursi roda. Setelah Hardi pergi, Bi Rahma memintaku untuk duduk kembali di atas ranjang. Mengingat kondisiku yang masih lemas.

Tak menunggu waktu lama, Hardi sudah kembali dengan kursi roda yang didorongnya ke arahku.

"Nah, sini gue bantu, pelan-pelan Mas," kata Hardi yang kembali membantuku. Usai memastikan posisi dudukku nyaman, barulah Hardi mendorong kursi rodaku keluar dari kamar rawat. Aku hanya menikmati perjalananku menuju lobi, sementara Hardi begitu bersemangat, bahkan ia juga memberiku topi miliknya untuk kukenakan.

Aku hanya takut, setelah ini apakah suara orang-orang di sekitarku masih bisa kudengar kembali? Aku takut jika tidak, setelah itu mereka akan meninggalkanku. Aku tak ingin terasing. Aku harap ini hanya sementara.

L Y A M

Hallo aku kembali bersama Mas Yam setelah sekian lama dia rebahan, sekarang balik lagi bareng adek manisnya, Hardi. Terima kasih telah berkunjung salam hangat Lyam 😊

Mungkin langkahmu yang lamban, bukan kakimu yang pendek. Tapi, kalaupun demikian, aku yang akan menjadi kaki dan tanganmu.

Publish, 21 Juni 2021
Re-publish, 1 Maret 2023

Hello Lysme  (SELESAI)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang