14. Kamu Menghilang Saja Kalau Begitu.

31 2 0
                                    


Terlalu lama aku tertidur membuat kepalaku sedikit pusing, bahkan saat menatap jam digital pada ponselku, hanya helaan napas yang bisa aku lakukan. Sudah hampir satu jam atau lebih aku terbangun, menatap langit-langit kamar rawat berwarna putih dengan lampu remang-remang yang masuk melewati celah kusen jendela di kamarku.

"Sepi."

Gumamku. Jujur, walau sudah terbiasa dengan suasana sunyi, hatiku tetap berharap pada keramaian. Suara Hardi, usap lembut Bi Rahma saat memintaku untuk istirahat. Aku juga merindukan kasur empuk di kamarku. Rasanya aku sudah sangat merindukan rumah, padahal baru satu hari berada di rumah sakit.

Aku kembali melirik ke arah pintu yang tertutup rapat, sudah beberapa kali juga aku melirik pada layar hitam di ponselku.

"Sepi."

"Apanya yang sepi?" Aku langsung menoleh, saat seseorang mulai melangkah melewati pintu yang sudah terbuka.

Aku tidak mendengarnya, sungguh. Isi kepalaku jauh lebih berisik dari pada harus mendengar decit pintu yang terbuka.

"Hai, apa kabar?" soalnya.

Aku masih diam. Berharap kalau aku tidak melupakan siapa yang datang malam-malam ke dalam kamar rawatku.

"Masih lupa?"

Aku langsung menunduk, benar. Aku memang lupa siapa yang kini berada di sebelah brankar tempatku berbaring kini.

"Maaf, apa boleh berkenalan? Aku melupakan sesuatu sepertinya."

Ia mengangguk, senyum manisnya begitu indah dan tidak membosankan. Sesekali aku membuang muka, merasa malu saat ditatap begitu lekat oleh seorang gadis.

"Meila."

Aku terdiam menatap uluran tangan gadis di depanku. Aku hanya takut bila bersentuhan dengan orang lain, apalagi orang itu akan merendahkan penampilanku sekarang  aku kembali menunduk, meremas jemariku yang berada di atas kedua paha. Malu. Itu yang aku rasakan.

"Kenapa nunduk, Mas?" seketika aku menoleh, menatap kedua bola mata berwarna hitam pekat itu dengan sendu.

"Kamu memanggilku dengan sebutan 'Mas', apa kita pernah sedekat itu?"

Aku tahu ini kurang sopan, tapi sapaan itu hanya pada orang yang dekat denganku saja, seperti Hardi atau Bi Rahma. Tapi gadis di depanku, ia tersenyum lebar. Meyakinkan kalau kami pernah sedekat itu.

"Iya. Kita feket banget kayak perangko."

Sebelah alisku terangkat, meminta penjelasan agar kepalaku tidak pusing. Nyatanya, gadis itu malah mengambil sebelah tanganku untuk ditempelkan pada tangannya. 

"Aku kenal Mas, Lyam Mahardika.  Kakaknya Hardi, kan?" katanya semangat.

Aku mengerjap, tanpa sadar tanganku masih belum terlepas. Aku mengangguk, lalu menatap kembali kedua tangan kami yang masih saling bertaut.

"Maaf. Aku Meila, temannya Hardi, Mas."

Ucap Meila, gadis yang kini duduk usai bersalaman dan menarik kursi kosong untuk sekadar mengobrol denganku.

"Apa kabar?" tanyanya.

Aku masih bingung. Ingin jawab, tapi bibirku Kelu untuk berkata. Kedua mata buramku hanya menatap wajah Meila sesekali. Masih begitu canggung sebenarnya.

"Kata Hardi, kalau malam Mas suka kebangun, emang bener?"

Aku masih ragu untuk bersuara, lagi pula aku memang suka terbangun di tengah malam. Bukan karena ingin, hanya saja mengurangi rasa sakit  pada hati sangatlah menyusahkan. Sesekali masih bisa dilewati begitu saja, tapi kini ucapan ibu sangat mengganggu pikiranku.

Hello Lysme  (SELESAI)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang