09. Untuk Ibu Saja

30 2 0
                                    

Aku tersentak ketika Hardi memanggil namaku, belum lagi pandangan heran Ayah Diaz terhadapku saat Hardi tiba-tiba mengusap wajahku. Aku sempat terdiam beberapa detik, kemudian menoleh mendapati senyum manis yang diperlihatkan adikku. Rambut yang sudah mulai panjang itu membuatnya seperti anak kecil dengan poni yang dibiarkan menutupi alisnya.

"Mas Yam," panggil Hardi pelan.

Aku menoleh, menaikkan sebelah alisku menunggu kelanjutan ucapan Hardi. Anak itu hanya terkekeh melihat wajahku, sementara Ayah Diaz memilih pergi untuk mengambil camilan ke dapur.

"Mas, gue ada kabar baik, lho," katanya dengan penuh semangat.

Aku mengangguk, kemudian mengubah posisi duduk menghadap ke arahnya. Sungguh aneh, tapi melihat wajah Hardi yang terlihat memiliki jerawat rasanya tak afdol bila tidak meledeknya.

"Pipimu sedang jatuh cinta?"

Pertanyaan pertama yang kulemparkan itu membuat Hardi cemberut, puas untuk membuatnya semakin jengkel bila menyinggung sesuatu hal sensitif seperti jerawat. Menurutku, ini kali kedua Hardi memiliki jerawat, karena aku tahu bagaimana dirinya yang sangat bersih apa lagi perihal wajah.

"Gue lagi ngomong, denger dulu bisa?"

Aku mengangguk, lalu tersenyum menatap wajah kesalnya yang tak pernah bosan untukku lihat setiap kali sedang bersama.

"Ibu mau pulang ke sini," ucapnya antusias.

Bi Rahma yang baru saja keluar dari arah dapur terkejut, begitu mendengar ucapan Hardi, terlihat jelas bagaimana suara kursi yang bergeser karena tak sengaja tersenggol. Aku menyipitkan mataku, memastikan kalau pandanganku sedang stabil dari sebelumnya.

"Bu?" Panggiku.

"Iya, Mas, Bibi di sini, ada apa?"

Aku bernapas lega saat tangan yang selalu ku sentuh sudah mengusap lenganku dengan lembut, mengingat beberapa hari lalu sikapku sedang kurang baik.

"Aku mau ke kamar, aku capek."

Aku tahu perasaan Hardi saat ini mungkin cukup kecewa, melihat sikapku yang tak peduli dengan kabar baik yang disampaikannya beberapa menit lalu. Tetapi, hatiku masih belum siap bila Ibu datang dan melihat bagaimana diriku yang lemah seperti  orang aneh.

Aku meraba keberadaan Bi Rahma, begitu cekatan beliau menuntunku beranjak dari tempat duduk, sementara Hardi menahan kepergianku dengan menarik ujung baju yang aku kenakan.

"Gue belum selesai ngomong, Mas. Lo mau ke mana?" ucapnya lagi.

Aku tak peduli, aku memilih pergi saat langkahku mulai mulai mendapat pijak yang tepat. Bahkan aku bisa melihat samar-samar ke datangan Ayah Diaz dari arah dapur sebelum kakiku menapakkan pijaknya di anak tangga.

"Lho, kamu sudah mau ke kamar, Lyam?"

Aku mengangguk," Iya, saya lelah."

Tak berselang lama, suara lembut dari arah lain menyapa pendengaran Lyam, begitu pun dengan Bi Rahma yang masih setia berada di sampingku.

"Mas Ardi?"

Panggilan itu terlalu lembut untuk waktu yang sudah aku lewati beberapa Minggu terakhir. Aku memalingkan wajah mencoba melihat siapa yang datang dengan samar-samar wajah sedikit tak asing itu menerbitkan senyumnya.

"Mas Ardi gimana kabarnya?"

Aku terpaku sejenak, mencoba menyerap apa yang dikatakannya memang tak salah masuk ke dalam telingaku yang mulai tak terkendali. Sementara sebelah tanganku yang lain mulai tak bisa ku ajak bekerja sama.

Hello Lysme  (SELESAI)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang