10. Tak Usah Berpura-pura

37 4 0
                                    

Setelah kemarin dibuat lelah, hari ini tak kalah lelah dengan mendengar kabar Hardi yang berkelahi dengan teman sekelasnya. Entah ada alasan apa sampai adikku memilih berkelahi dari pada menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Aku hanya bisa terdiam, bahkan ini pertama kali aku masuk sekolah setelah beberapa Minggu meliburkan diri dengan catatan sakit di absen.

Duduk sambil menunggu Pak Malik yang melerai, nyatanya tak sebaik yang kupikirkan. Tatapan tajam yang selalu membuatku ikut meringis bila melihatnya, kali ini tatapan itu tertuju pada Hardi dan Heri, teman sekelas adikku. Beruntung Pak Malik tidak langsung memberi sanksi, menceramahi dengan surat peringatan saja sudah membuatku lemas.

Kini keduanya dihukum untuk membersihkan halaman sekolah sebagai ganti sanksi yang biasanya disertakan orang tua sebagai jaminan. Aku yakin dengan semua kejian hari ini, Ibu pasti akan mengomel padaku, bukan pada Hardi.

Aku selalu mendapat hadiah manis dari perbuatan Hardi, tentu itu membuatku sedikit kesal juga padanya. Padahal, setiap saat aku ingatkan adikku untuk tetap menjaga diri, menahan emosi, tapi semua yang kukatakan pasti akan berakhir sia-sia.

"Karena ulahmu, pasti Ibu akan memarahiku," ucapku pelan.

Malas tapi aku juga perlu memperingatkan Hardi akan kesalahannya. Dia hanya menatapku dengan tatapan bersalah, sementara temannya sudah pergi ke kelas untuk meminta izin pada guru yang mengajar di kelasnya.

"Maaf, Mas  gue berantem juga punya alasan."

"Apa alasan kamu harus diakhiri dengan perkelahian?"

Dia menggeleng, aku bisa melihatnya meski penglihatanku sekarang tidak setajam dulu, aku juga mengenakan kacamata untuk membantuku melihat kehidupan keras yang selama ini menjadi beban semua orang, termasuk diriku sendiri.

"Kalau bukan, lalu apa?" tanyaku.

Dia kembali menunduk, meremat jemarinya dengan begitu kuat.

"Dia nggak sopan."

"Karena?"

Aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk menyakan alasannya dengan rinci, tapi aku perlu agar pikiranku tenang, setidaknya alasan Hardi bukan sebuah lelucon seperti yang dikatakan oleh Heri.

"Lo. Kenapa semua orang bilang lo itu beban, sih, Mas? Kenapa orang nggak lihat kita dari sisi lain?"

Aku terdiam, apa yang dikatakan orang-orang itu benar. Karena mereka selalu merendahkan seseorang tanpa peduli perasaanya. Padahal aku baru menikmati suasana sekolah setelah beberapa Minggu meliburkan diri.

"Apa yang membuatmu kesal? Bukannya apa yang mereka katakan ada benarnya?"

Seketika raut wajah Hardi memerah sambil  menatap ke arahku. Aku tak tahu apa yang ada dipikiran adikku. Dia terlihat begitu kesal, seakan semua yang aku katakan telah menyinggung perasaannya.

"Kenapa lo bilang begitu? Lo tahu alasan gue marah, tapi lo sendiri yang membenarkannya? Ada apa sama lo, Mas Yam!"

Amarah Hardi tidak main-main, aku bisa melihat kepal kedua tangannya yang hendak memukulku. Setelahnya ia melepaskannya begitu saja dengan emosi yang masih menggebu lalu pergi meninggalkanku sendiri di depan toilet.

Aku tak tahu dengan pandangan semua orang akan merendahkan kondisiku yang semakin melemah, setidaknya aku masih bisa bertahan walau tak selamanya aku berdiri sendiri seperti sekarang. Meski tadi sempat ragu untuk datang ke ruangan Pak Malik, aku tetap memaksakannya, dibantu Rasyid sampai di depan pintu, setelahnya Rasyid pun pergi.

Dan saat ini aku sendiri lagi, setelah aku membuat Hardi kesal, padahal Hardi berniat membantuku untuk ke toilet mengingat beberapa waktu lalu setelah keluar dari ruangan Pak Malik, tiba-tiba saja lenganku terasa begitu gatal.

Hello Lysme  (SELESAI)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang