Apa bisa hari ini aku tidur panjang saja?
Apa bisa hari ini aku melepaskan beban hati tanpa berharap lagi?
Apa bisa hari ini aku duduk dengan Ibu?Aku tahu, aku tak lebih dari anak jalan yang tak punya orang tua. Keadaannya seperti itu. Memiliki tapi tak berharga. Dicintai, tapi terlupa. Aku memang hadir hanya raga, mungkin jiwaku sudah berakhir bersama Ayahku sejak dulu. Sejak Ibu datang membawa Hardi dalam gendongannya.
Aku hanya balita yang tak tahu apa-apa selain menangis, merelakan tangan Ibu disentuh oleh jari mungil Hardi. Merelakan peluk hangat Ibu, ketika Hardi sakit. Aku tidak menyimpan dendam, karena aku tahu Ibu pasti akan melakukan hal yang sama padaku, mungkin.
Aku selalu berpikir demikian. Benar. Aku memikirkan banyak hal setelah aku beranjak dewasa, hingga akhirnya aku mengerti apa yang Ibu katakan ketika aku duduk di meja makan pagi itu.
Di mana Hardi dan Ayah Diaz masih berada di dalam kamar masing-masing. Aku duduk berhadapan dengan Ibu memang, tapi tak ada satu kata pun yang terlontar atau sapa hangat apalagi senyum yang terlihat. Hanya sikap dingin dengan sorot mata yang begitu tajam menatap ke arahku.
"Ibu akan pulang malam lagi?" tanyaku pelan.
Mengingat raut wajah Ibu yang kurang bersahabat, membuatku sedikit canggung padahal sudah sering aku mendapat tatapan tajam itu.
"Saya tak perlu menjelaskan lagi padamu, kan? Apa harus setiap hari saya melaporkan kapan saya pergi, kapan saya kembali dan kapan saya akan tidur, begitu kah?"
Aku menggeleng, tentu bukan itu yang ingin aku dengar. Aku tak pernah berharap jawaban panjang, tapi kali ini Ibu hanya fokus pada ponsel yang diletakkannya di atas meja, dengan jari telunjuk yang begitu cantik menari indah di atas benda pipih itu.
"Apa Ardi boleh bertanya sedikit?"
"Kalau tidak penting, lebih baik habiskan sarapanmu, karena Ayah kalian sebentar lagi keluar dari kamar. Dia yang akan mengantar kalian ke sekolah."
"Bagi Ardi ini sangat penting. Apa Ibu tidak ingin dengar sebentar?"
Aku belum benar-benar mengutarakan apa yang ingin aku katakan. Tapi Ibu sudah beranjak dari tempat duduknya dengan sorot mata yang semakin tajam menatap lekat ke arahku.
"Lain kali. Urusan saya lebih penting dari cerita omong kosongmu."
Aku terdiam di mana langkah kaki Ibu mulai menjauh dari meja makan. Kali ini sikap Ibu tak seperti biasa, lebih dingin seakan tak pernah menganggap kalau aku putranya. Aku hanyalah orang asing yang menumpang hidup dengan semua fasilitas.
Aku menunduk, mengingat sekali lagi apa yang kudengar tak sepenuhnya benar. Nyatanya, suara Ibu selalu menjadi alarm setiap kali aku menatap wajah cantik Ibu dalam sebuah pigura besar yang diletakkan di sudut ruangan tepat di dekat pintu kamar Ibu.
"Mas?"
Aku terkejut saat Hardi memanggilku, aku pun menoleh, menatap wajahnya yang cukup sulit diartikan. Seperti sedang menyembunyikan sesuatu, tapi apa? Apakah Hardi bertengkar dengan Ibu? Kalau benar, apa alasannya?
Aku terus memandang wajah murung yang kini mulai mendekat dan langsung naik ke atas ranjangku. Tak lama, Hardi memelukku tanpa mengatakan apa pun.
"Gue yang manja ini apa bisa jadi bahu lo terus Mas?"
Aku mengerutkan kening, mencerna ucapan Hardi adalah sesuatu yang cukup sulit bagiku dengan kondisi yang sekarang. Mengingat sebagian memori bisa kapan saja hilang, bahkan fungsi saraf pun sudah mulai terganggu. Entah sudah berapa kali aku menjalani pemeriksaan semenjak diagnosa dokter tentang penyakit baik hati ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Lysme (SELESAI)√
Teen FictionLyam Mahardika, begitu lengkap dan indah ketika terpampang jelas di sebuah papan nama rumah sakit. Aku tahu ini tak adil, apalagi untuk seorang Rahardiaka Mahesa. Saudaraku yang selisih dua tahun denganku. Bagi mereka aku lemah, bagi mereka aku...