12. Ini Jauh Lebih Sakit, Bu.

45 4 0
                                    


Perjalanan yang tak seberapa terlihat jauh lebih lama dari pada harus menunggu hasil pemeriksaan yang membuat dada Hardi naik turun tak karuan. Mondar-mandir tak jelas membuat Bi Rahma dan Ayah' Diaz pusing melihatnya.

Anak itu seakan tak henti mengucap sumpah serapahnya, memaki dirinya yang tak becus menjagaku. Tutur lembut Bu Rahma saat aku mulai tersadar dari tidurku pun membuat keningnya mengkerut. Ingin tak percaya, tapi pelakunya menunduk sejak dokter memperbolehkannya masuk.

Aku bisa melihat bagaimana wajah khawatir Hardi, wajah lesu Bu Rahma dan wajah tegar Ayah Diaz ketika tahu aku sadar sudah dengan kondisi tak berdaya.

"Mas, jangan denger kata Bibi, itu nggak bener."

Aku tak ingin ambil pusing, hanya mengangguk padahal aku tahu Bi Rahma tak mungkin berani mengarang cerita apalagi tahu tabiat Hardi yang begitu sulit ditebak.

"Mas Ardi, gimana? Badannya masih pegal?"

Aku melirik Bi Rahma yang berdiri di sebelah Hardi, sementara Ayah memilih pamit keluar untuk menerima telepon pentingnya.

"Aku baik-baik saja, Bu. Badanku juga sedikit jauh lebih baik, Ibu nggak perlu cemas begitu," balasku.

Berbeda dengan Hardi, anak itu justru memilih naik ke atas brankar seraya memeluk tubuhku dari samping. Tak peduli dengan Omelan Bi Rahma.

"Mas Yam, kalau sakit tuh kasih tahu, biarin nggak sekolah, nanti gue yang kabarin Bu guru, dari pada kayak gini, gue nggak suka Mas."

"Kamu ini bagaimana, Di? Aku sekolah untuk diriku sendiri, aku tak ingin tertinggal pelajaran lagi."

"Iya, tapi kalau lo udah beneran sehat."

Aku mengulas senyum, membuat Hardi, mencebikkan bibirnya dan semakin merapatkan kepalanya padaku untuk bersandar.

"Sampai kapan? Menunggu sehat sama saja menunggu Ibu tak lagi benci padaku, begitu?"

Lagi dan lagi, Hardi hanya diam saat kusinhgung tentang Ibu, dia seperti menutup akses yang pasti aku tahu hal itu sangat mustahil untuk Hardi lalui. Aku tidak mendengar ucapan manis Hardi ketika melihat atau membicarakan Ibu belakangan.

Aku yakin ada hal lain yang telah ditutupi demi menjaga perasaanku, tapi apa? Apa aku tak boleh tahu tentang keadaan ibuku sendiri? Aku hanya diam, membiarkan Hardi mendusalkan kepalanya di bahuku.

"Mas Ardi mau makan?" tawar Bi Rahma berhasil mengalihkan atensiku.

Mengingat ruangan yang aku tempati cukup luas, bahkan aku juga tak lagi melihat keberadaan Ayah Diaz di mana-mana.

"Ada apa Mas?"

"Ayah Diaz, ke mana?"

Bi Rahma melihat ke sekitar ruangan, lalu kembali menoleh ke arahku,  sebelum menjawab, Bi Rahma melirik sebentar ke arah Hardi yang sudah terlelap beberapa menit lalu.

"Hardi tidur, Ayah  ke mana?"

"Pak Diaz keluar ada perlu, Mas, tadi mengirim pesan ke Bibi," jawab Bi Rahma. Aku mengangguk pelan.

Leherku sedikit sakit dan cukup pegal rasanya, tapi sebelah lenganku dipeluk erat oleh Hardi yang tak ingin berpindah sedikit pun. Hanya Hela napas yang bisa kulakukan demi meredakan nyeri.

Aku ingin sekali melihat senyum Ibu saat ini, memiliki raganya saja tak bisa, apalagi hatinya. Sejak tadi isi kepalaku dipenuhi oleh Ibu, mengingat pergerakan ku terbatas karena Hardi, aku pun memikirkan setidaknya hanya Ibu yang bisa aku pikirkan sekarang.

Aku kembali mengingat bagian yang hampir hilang karena rasa sakitku ini. Katanya, sakit bisa meleburkan dosa, tapi bagaimana kalau aku sakit karena memikirkan Ibu? Jawaban itu masih menggantung setelah Ayah Diaz mengatakan kalau Ibu akan baik-baik saja.

"Ibu pergi tak pamit, saat ini Ibu sedang apa? Apa tidak rindu Ardi? Apa tidak ingin sekali saja melihat Ardi? Ibu bilang akan sayang padaku jika aku menjadi anak baik, tapi apa sekarang?"

Hanya kalimat- kalimat tak jelas yang sejak tadi aku lontarkan, tak peduli akan didengar oleh Bi Rahma atau Hardi sekalipun.  Aku yakin sekali Bi Rahma tidak benar-benar istirahat di sofa, wanita paruh baya itu melihat ke arahku dengan tatapan penuh khawatir.

Meski samar-samar, aku masih bisa merasakan hal yang selalu aku yakini. Baik itu sosoknya atau caranya memandangku. Aku yakin Bi Rahma sedang mengusap air matanya sambil menunduk. Walaupun meminta izin untuk duduk guna menghilangkan penat, tapi tak bisa aku pungkiri Bi Rahma adalah orang pertama yang selalu memelukku ketika lemah.

"Mas Ardi mau sesuatu?" tanyanya.

Aku sedikit menoleh mendapati langkah pelan Bi Rahma ke arahku.

"Aku mau Ibu, apa aku boleh pulang sekarang?"

Aku bisa melihat Bi Rahma terdiam saat aku melontarkan kalimat yang sama. Yang selalu membuat Bi Rahma menangis sambil menggenggam jemariku yang ringkih ketika berbaring menahan sakit, di atas tempat tidur, beliau tanpa pamrih memelukku layaknya seorang ibu.

Hal yang sama kini kembali aku rasakan. Bi Rahma mendekat dan membaur ke arahku dan Hardi. Menangis sambil mengusap lenganku dan berbisik di telinga yang saat ini sudah berkurang fungsinya.

"Ibu akan datang pada Mas Ardi, tunggu saja, ya."

"Kapan? Aku selalu menunggu Ibu setiap hari, setiap kali akan memejamkan mata, dan setiap kali akan menyerah. Apa aku seburuk itu untuk Ibu, Bu?"

Gelengan kepala Bi Rahma dapat kulihat, ketika wanita paruh baya itu mengurai peluknya dan  mengusap air mata yang jatuh begitu saja dari sudut mataku.

"Bukan salah Mas Ardi. Mas Ardi hanya perlu istirahat dan jaga kesehatan saja, ada Bibi di sini," balasnya.

"Tapi aku rindu Ibu. Ini jauh lebih sakit Bu, ini tidak sama seperti rasa sakitku."

"Mas..."

Aku melirik saat Hardi tiba-tiba bangun dan mengusap sebelah pipiku. Sambil mendongak anak itu terdiam sejenak. Memperhatikan wajahku begitu juga jemarinya yang nakal mengusap lembut alis dan kedua kelopak mataku.

Aku ingin menangis lebih kencang rasanya, tapi Hardi selalu membuatku menahannya dengan cara yang berbeda.

"Gue di sini, lo nggak perlu ingat Ibu kalau itu buat sakit setiap hari. Lo nggak perlu mengemis kalau Ibu nggak mau Lo ada didekat dia. Lo itu nggak sendiri, Mas. Masih ada gue, Bi Rahma yang bisa lo andalkan."

"Tapi aku merindukan Ibu."

Hardi memang remaja manja yang masih perlu perhatian, tapi di sini, dia seperti sosok dewasa. Membuatku merasa malu bila menatap matanya yang tajam.

"Iya. Kalau Ibu masih ingat anaknya di sini sedang berjuang sendirian. Tapi lo jangan bego juga, Mas. Sesayang apa pun lo ke Ibu, Ibu itu keras, Ibu nggak akan pernah tahu rasanya kehilangan, kalau belum melihat secara langsung."

Ucapan Hardi begitu dalam, bahkan dia sudah kembali duduk menghadap ke arahku. Menatapku penuh emosi sampai kedua matanya memerah menahan amarah.

"Bahkan, saat Ayah Charli pergi, apa pernah Ibu memikirkannya? Kalau iya, lo nggak akan kayak sekarang Mas."

Aku hanya bisa diam, memberi ruang sendiri untuk Hardi ketika anak itu memilih untuk pergi dari ruang rawatku.

"Apa yang Mas Hardi bilang, nggak salah Mas. Mas harusnya fokus sama kesehatan Mas Ardi saja."

"Bu.."

Bi Rahma menggeleng cepat, lalu mengusap kepalaku dengan lembut.

"Enggak Mas, kali ini Bibi mohon."

. . . .

Hallo Mas Yam, kembali. Gimana kabarnya? Terima kasih sudah berkunjung. Salam manis Mas Yam 🥀

Publish, 28 Desember 2023

Hello Lysme  (SELESAI)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang