20. Aku Sudah Lelah, Bu (End)

27 3 0
                                    

Hari ini mungkin akan terasa lebih melelahkan setelah seminggu menghabiskan waktu hanya di dalam kamar bernuansa putih yang cukup minimalis. Mengingatkan tentang diriku yang lemah setiap kali menghirup udara bebas.

Tumbang. Satu kata yang sampai sekarang masih senantiasa melangkah bersama kabut. Membuang semua beban bersama rintik, lalu berakhir di atas tumpukan debu yang begitu tebal. Aku teringat dengan Hardi saat kami berkunjung ke pantai.

Sudah sangat lama, sepertinya aku memang pelupa, karena di sana kali pertama dan terakhir bagiku melihat indahnya senja di samping deburan ombak sebagai melodi. Aku ingat, tapi aku bingung harus memulainya dari mana. Mungkin hanya bagian penting saja, sisanya biarkan menjadi penutup cerita tanpa orang lain tahu siapa dan bagaimana diriku saat itu.

"Gue mau sedikit ke tengah laut, lo mau ikut?"

Suara Hardi kala itu membuatku berdiri mematung memandang hamparan laut luas di bawah teriknya matahari. Aku ragu, tapi Hardi lebih dulu menarik tanganku hampir saja tersandung bebatuan. Langkah kaki lebar membawa kami pada sebuah penyewa banana bots. Aku hanya diam, tak tahu harus berbuat apa.

Di sisi lain, aku memperhatikan wajah ayu yang begitu ingin aku gapai, namun tak mampu. Aku melihat bagaimana senyum Ibu ketika mengambil potret langit di bibir pantai. Tak terasa senyumku juga ikut mengembang. Binar mata Ibu membuatku selalu ingin melihatnya terus.

Tetapi... Idak, tangis mengejutkan lamunanku. Aku menoleh, pada sosok yang kini terbaring di pinggir pantai. Mata yang  tertutup rapat juga bibir yang mulai membiru itu membuatku terdiam cukup lama.

Aku di sana, melihat segalanya saat itu. Aku juga mendengar jerit suara Ibu memanggil namanya, bahkan mengguncangkan tubuhnya saat petugas pantai memberi ruang untuk keduanya.

"Bangun! Kamu ini bodoh atau bagaimana? Bangun!"  geurutu itu membuatku terdiam.

Lagi. Hanya hening yang aku lihat dari sana. Hanya air mata yang aku dapat saat Ibu memeluk tubuh dingin di sana. Namun, aku tersadar ketika aku kembali memandang sudut lain di sebelah kiriku.  Ada Ayah yang terus melambai memberi tahu agar aku menghampirinya.

Kedua tangan direntangkan ke arahku, apa mungkin mimpimu akan menjadi nyata? Saat itu aku tidak memikirkan hal lain kecuali Ibu yang masih menangis.

"Saya sudah ingatkan, sebelum ini. Jangan bodoh, jangan pernah membuat saya kesal. Apa ini? Apa maksudnya? Kamu kembali menyusahkan saya? Bagaimana ini Ardi! Bagaimana setelah ini?"

Aku tersentak. Itu panggilan pertama Ibu padaku. Iya, itu adalah panggilan pertama Ibu selama ini. Aku pun menunduk menatap kedua telapak tanganku yang memucat. Tubuhku terasa lebih ringan rasanya.

"Bangun, bodoh! Apa saya harus memakimu seperti ini agar kamu mau membuka mata seperti biasa? Bangun!"

Tidak, aku tidak tahu saat itu hanya khayalan saja yang aku ingat. Tetapi, kenyataan sebenarnya hanya ada aku seorang diri di dalam degup seseorang yang kini masih berbaring tak berdaya di atas tempat tidurnya.

"Kamu sudah melihat bagaimana dirimu sebelum ini, kan? Apa kamu ingin ikut bersama Ayah? Kita habiskan waktu bersama."

Aku melirik Ayahku, sejak tadi tatapannya begitu teduh memandang tubuh tak berdaya di atas tempat tidurnya. Aku sedikit memiringkan kepala, rasanya mustahil kalau ini benar-benar aku.

Semua ingatan itu kembali pada rasa yang sama. Aku hanya ingat Ibu menangisi tubuh lemah yang ruhnya akan pergi. Tubuh yang sudah begitu sakit bila terus ditahan. Tubuh yang begitu ringkih setiap kali menahan dorongan kuat dari sisi manapun.

Aku selalu percaya dan akan terus begitu. Tetapi sekali lagi, aku hanya manusia biasa yang tak ingin menyusahkan siapa pun. Namun, kenyataan selalu membawaku pada luka lama. Terus dipendam pun tak akan mampu. Karena memang bahu ternyaman sangat dibutuhkan, begitu pun dengan telinga.

Hello Lysme  (SELESAI)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang